Bathara Narada
Narada atau Narada Muni adalah seseorang yang bijaksana dalam tradisi Hindu, yang memegang peranan penting dalam kisah-kisah Purana, khususnya Bhagawatapurana. Narada digambarkan sebagai pendeta yang suka mengembara dan memiliki kemampuan untuk mengunjungi planet-planet dan dunia yang jauh. Ia selalu membawa alat musik yang dikenal sebagai vina, yang pada mulanya dipakai oleh Narada untuk mengantarkan lagu pujian, doa-doa, dan mantra-mantra sebagai rasa bakti terhadap Dewa Wisnu atau Kresna.
Dalam tradisi Waisnawa ia
memiliki rasa hormat yang istimewa dalam menyanyikan nama Hari dan Narayana dan
proses pelayanan didasari rasa bakti yang diperlihatkannya, dikenal sebagai
bhakti yoga seperti yang dijelaskan dalam kitab yang merujuk kepadanya, yang
dikenal sebagai Narad Bhakti Sutra.
Putra Dewa Brahma
Menurut
legenda, Narada dipandang sebagai Manasputra, merujuk kepada kelahirannya ‘dari
pikiran Dewa Brahma’, atau makhluk hidup pertama seperti yang digambarkan dalam
alam semesta menurut Purana. Ia dihormati sebagai Triloka sanchaari, atau
pengembara sejati yang mengarungi tiga dunia yaitu Swargaloka (surga),
Mrityuloka (bumi) dan Patalloka (alam bawah). Ia melakukannya untuk menemukan
sesuatu mengenai kehidupan dan kemakmuran orang. Ia orang pertama yang
melakukan Natya Yoga. Ia juga dikenal sebagai Kalahapriya.
Narada Muni memiliki posisi
penting yang istimewa di antara tradisi Waisnawa. Dalam kitab-kitab Purana, ia
termasuk salah satu dari dua belas Mahajana, atau ‘pemuja besar’ Dewa Wisnu.
Karena ia adalah gandharva dalam kehidupan dahulu sebelum ia menjadi Resi, ia
berada dalam kategori Dewaresi.
Pencerahan
Bhagawata
Purana menceritakan pencerahan spiritual yang dialami Narada: Dalam
kehidupannya yang dulu, Narada adalah gandharva (sejenis malaikat) yang dikutuk
agar lahir di planet bumi karena melanggar sesuatu. Maka ia kemudian lahir
sebagai putera seorang pelayan yang khusus melayani pendeta suci (brahmin).
Para pendeta yang berkenan dengan pelayanan Narada dan ibunya, memberkahinya
dengan mengizinkannya memakan sisa makanan mereka (prasad) yang sebelumnya
dipersembahkan kepada dewa mereka, yaitu Wisnu.
Perlahan-lahan Narada menerima
berkah dan berkah lagi dari para pendeta tersebut, dan mendengarkan mereka
memperbincangkan banyak topik mengenai spiritual. Lalu pada suatu hari, ibunya
meninggal karena digigit ular, dan karena menganggap itu adalah perbuatan Dewa
(Wisnu), ia memutuskan untuk pergi ke hutan demi mencari pencerahan agar
memahami ‘Kebenaran yang paling mutlak’.
Ketika di dalam hutan, Narada
menemukan tempat yang tenang, dan setelah melepaskan dahaga dari sungai
terdekat, ia duduk di bawah pohon dan bermeditasi (yoga), berkonsentrasi kepada
wujud paramatma Wisnu di dalam hatinya, seperti yang pernah diajarkan oleh para
pendeta yang pernah dilayaninya. Setelah beberapa lama, Narada melihat sebuah
penampakan, dimana Narayana (Wisnu) muncul di depannya, tersenyum, dan berkata
bahwa ‘meskipun ia memiliki anugerah untuk melihat wujud tersebut pada saat itu
juga, Narada tidak akan dapat melihat wujudnya (Wisnu) lagi sampai ia mati’.
Narayana kemudian menjelaskan bahwa kesempatan yang diberikan agar Narada dapat
melihat wujudnya disebabkan oleh keindahan dan rasa cintanya, dan akan menjadi
sumber inspirasi dan membakar keinginannya yang terlelap untuk bersama sang
dewa lagi. Setelah memberi tahu Narada dengan cara tersebut, Wisnu kemudian
menghilang dari pandangannya. Narada bangun dari meditasinya dengan terharu
sekaligus kecewa.
Resi Narada terbang menuju planet Dewa-Dewi yang jauh.
(Sumber: Krishna.com)
Selama
sisa hidupnya Narada memusatkan rasa baktinya, bermeditasi, dan menyembah
Wisnu. Setelah kematiannya, Wisnu menganugerahinya dengan wujud spiritual
“Narada”, yang kemudian dikenal banyak orang. Dalam beberapa susastra Hindu,
Narada dianggap sebagai penjelmaan (awatara) dewa, dan berkuasa untuk melakukan
tugas-tugas yang ajaib atas nama Wisnu.
Narada dalam budaya Jawa
Batara
Narada ialah batara pengadil dan penyampai berita ke Pandawa. Batara Narada
tadinya bernama Kanekaputra. Saat ia itu ia masih berupa Dewa yang bagus
rupanya. Untuk mengejar kesaktiannya, maka Kanekaputra bersemadi di tengah
samudera dengan tidak bergerak-gerak. Oleh Batara Guru hal ini dianggapnya
sebagai usaha Kanekaputra untuk menguasai Suryalaya. Maka diperintahkannya
semua dewa untuk menyerang Kanekaputra dengan segala macam senjata agar
gagallah semadinya. Namun Kanekaputra tetap pada semadinya, dan tetap tidak
bergerak. Akhirnya Batara Guru sendiri pergi ke hadapan Kanekaputra, dan
terjadilah bantah-membantah antara keduanya. Dalam hal ini, Batara Guru keluar
sebagai pihak yang kalah-bantah. Maka untuk seterusnya Batara Guru memanggil
Kanekaputra dengan kakang, kanda, karena merasa lebih muda.
Suatu ketika amat murkalah Batara
Guru, hingga dikutuknya Kanekaputra sehingga berwuju seperti sekarang, kemudian
ia dipanggil dengan Narada.
Kresna - Sang Wisnu
Kresna
atau Krishna adalah salah satu Dewa yang banyak dipuja oleh umat Hindu karena
dianggap merupakan aspek dari Brahman. Ia disebut pula Narayana, yaitu sebutan
yang merujuk kepada perwujudan Dewa Wisnu yang berlengan empat di Waikuntha. Ia
biasanya digambarkan sebagai sosok pengembala muda yang memainkan seruling
(seperti misalnya dalam Bhagawatapurana) atau pangeran muda yang memberikan
tuntunan filosofis (seperti dalam Bhagawadgita).
Dalam Agama Hindu pada umumnya,
Kresna dipuja sebagai awatara Wisnu yang kedelapan, dan dianggap sebagai Dewa
yang paling hebat dalam perguruan Waisnawa. Dalam tradisi Gaudiya Waisnawa,
Kresna dipuja sebagai sumber dari segala awatara (termasuk Wisnu).
Menurut kitab Mahabharata, Kresna
berasal dari Kerajaan Surasena, namun kemudian ia mendirikan kerajaan sendiri
yang diberi nama Dwaraka. Dalam wiracarita Mahabharata, ia dikenal sebagai
tokoh raja yang bijaksana, sakti, dan berwibawa.
Dalam kitab Bhagawadgita, ia
adalah perantara kepribadian Brahman yang menjabarkan ajaran kebenaran mutlak
(dharma) kepada Arjuna. Ia mampu menampakkan secercah kemahakuasaan Tuhan yang
hanya disaksikan oleh tiga orang pada waktu perang keluarga Bharata akan
berlangsung. Ketiga orang tersebut adalah Arjuna, Sanjaya, dan Byasa. Namun
Sanjaya dan Byasa tidak melihat secara langsung, melainkan melalui mata batin
mereka yang menyaksikan perang Bharatayuddha.
Asal usul nama "Krishna"
Dalam
bahasa Sanskerta, kata Krishna berarti "hitam" atau
"gelap", dan kata ini umum digunakan untuk menunjukkan pada orang
yang berkulit gelap. Dalam Brahma Samhita dijabarkan bahwa Krishna memiliki
warna kulit gelap bersemu biru langit. Dan umumnya divisualkan berkulit gelap
atau biru pekat. Sebagai Contoh, di Kuil Jaganatha, di Puri, Orissa, India
(nama Jaganatha, adalah nama yang ditujukan bagi Kresna sebagai penguasa jagat
raya) di gambarkan memiliki kulit gelap berdampingan dengan saudaranya Baladewa
dan Subadra yang berkulit cerah.
Kresna dalam pewayangan Jawa
Dalam
pewayangan Jawa, Prabu Kresna merupakan Raja Dwarawati, kerajaan para keturunan
Yadu (Yadawa) dan merupakan titisan Dewa Wisnu. Kresna adalah anak Basudewa,
Raja Mandura. Ia (dengan nama kecil "Narayana") dilahirkan sebagai
putera kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya dikenal sebagai Baladewa (alias
Kakrasana) dan adiknya dikenal sebagai Subadra, yang tak lain adalah istri dari
Arjuna. Ia memiliki tiga orang istri dan tiga orang anak. Istri isterinya
adalah Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Satyabama. Anak-anaknya adalah
Raden Boma Narakasura, Raden Samba, dan Siti Sundari.
Pada perang Bharatayuddha, beliau
adalah sais atau kusir Arjuna. Ia juga merupakan salah satu penasihat utama
Pandawa. Sebelum perang melawan Karna, atau dalam babak yang dinamakan Karna
Tanding sebagai sais Arjuna, beliau memberikan wejangan panjang lebar kepada
Arjuna. Wejangan beliau dikenal sebagai Bhagawadgita.
Kresna dikenal sebagai seorang
yang sangat sakti. Ia memiliki kemampuan untuk meramal, mengubah bentuk menjadi
raksasa, dan memiliki bunga Wijaya Kusuma yang dapat menghidupkan kembali orang
yang mati. Ia juga memiliki senjata yang dinamakan Cakrabaswara yang mampu
digunakan untuk menghancurkan dunia, pusaka-pusaka sakti, antara lain Senjata
Cakra, Kembang Wijayakusuma, terompet kerang (Sangkala) Pancajahnya, Kaca
Paesan, Aji Pameling dan Aji Kawrastawan.
Setelah meninggalnya Prabu
Baladewa (Resi Balarama), kakaknya, dan musnahnya seluruh Wangsa Wresni dan
Yadawa, Prabu Kresna menginginkan moksa. Ia wafat dalam keadaan bertapa dengan
perantara panah seorang pemburu bernama Jara yang mengenai kakinya.
Betari Durga
Tempat : Hutan Setra Gandamayit
Suami : Batara Kala
Bentuk : Raseksi yang ganas dan
bengis
Keterangan:
Batari
Durga dahulu adalah seorang putri yang cantik jelita berujud bidadari bernama
dewi Uma. Ia sangat dicintai oleh Hyang Guru. Peristiwa itu terjadi pada saat
Hyang Guru sedang rekreasi naik lembu Nandini melihat keindahan jagad raya,
karena asyiknya betara Guru timbullah nafsu asmara dengan dewi Uma. Tetapi dewi
Uma tidak mau karena mengingat sedang naik Lembu Nandini. Karena Batara Guru
sangat bernafsu maka kamanya jatuh di laut. Yang akhirnya lahir Batara Kala.
Setelah kejadian itu Dewi Uma diajak pulang. Di kayangan Batara Guru marah
bukan kepalang karena marahnya Betari Uma disabda menjadi reseksi yang bengis
dan disuruh kehutan Setra Gandamayit.
Mari kita melihat kembali pada
kejadian yang lalu, pada saat Batara Guru akan memaksa Batari Uma. Maka Batari
Uma mengutuk sikap Batara Guru seperti itu bagaikan raksasa. Maka jadilah
Batara Guru mirip raksasa dengan mempunyai caling. Atas kejadian itu Batara
Guru merasa masgul hatinya. Batari Durga dapat kembali ujut seperti sedia kala
setelah diruat oleh satria bungsunya Pandawa yaitu raden Sadewa. Maka lakon itu
disebut lakon Sudamala atau Durga ruwat.
Batari Durga di Setra Gandamayit
memerintah para jin, iblis, banaspati, gandaruwo, engklek-engklek balung
antandak dan sepadannya.
Batara Yamadipati
Putra dari : Semar (Betara
Ismaya)
Tempat : Kayangan Argodulamilah
Keterangan :
Betara
Yamadipati, dewa yang ditugasi mencabut nyawa dan menjaga neraka. Adapun wajah
Yamadipati berbentuk manusia dan wajah raksasa yang mengerikan. Yamadipati juga
terseret pada perbuatan tidak benar tetapi setelah direnungkan tidak baik, maka
berbelok pada posisinya semula.
Batara Kala
Kayangan : kayangan
Selamangumpeng
Ayah : Batara Guru
Istri : Batari Durga
Keterangan :
Batara Kala lahir dari Kama salah
yang jatuh dilaut pada saat Batara Guru rekrasi dengan Batari Uma (lihat hal
Batari Uma). Batara Kala dilahirkan dalam wujud api yang berkobar-kobar yang
makin lama makin besar. Hal ini membuat gara-gara di Suralaya, sehingga para
dewa diperintahkan oleh Batara Guru untuk mematikan api yang berkobar-kobar
tetapi tidak mati, malah makin lama makin besar dan naik ke Suralaya menanyakan
bapaknya.
Karena Hyang Guru kwatir kalau
kayangan rusak maka Batara Guru mengakui kalau Kala adalah anaknya. Maka diberi
nama Batara Kala dan Batara Kala minta makanan, maka Batara Guru memberi
makanan tetapi ditentukan yaitu :
Orang yang mempunyai anak satu
yang disebut ontang-anting
Pandawa lima anak lima laki-laki
semua atau anak lima putri semua.
Kedono kedini, anak dua laki-laki
perempuan jadi makanan Betara Kala.
Untuk menghindari jadi mangsa
Batara Kala harus diadakan upacara ruwatan. Maka untuk lakon-lakon seperti itu
di dalam pedalangan disebut lakon Murwakala atau lakon ruwatan. Di dalam lakon
pedalangan Batara Kala selalu memakan para pandawa karena dianggapnya Pandawa
adalah orang ontang anting. Tetapi karena Pandawa selalu didekati titisan Wisnu
yaitu Batara Kresna. Maka Batara Kala selalu tidak berhasil memakan Pandawa.
Batara Antaboga
Kayangan : kayangan Saptapratala
atau Saptabumi
Anak : Dewi Nagagini.
Keterangan :
Batara Antaboga adalah dewa ular
maka disebut juga ujud naga besar. Hyang Antaboga mempunyai putri cantik jelita
yang diperistri raden Werkudara. Peristiwa ini terjadi pada saat Pandawa ditipu
Kurawa diajak berkumpul dan pesta. Tiba-tiba tempat tersebut dibakar oleh para
Kurawa dalam pedalangan dalam lakon Balesigalagala. Pandawa tidak mati karena
ditolong oleh garangan putih yaitu kajadian dari Hyang Antaboga. Akhirnya
Pandawa selamat Werkudara dikawinkan dengan dewi Nagagini mempunyai keturunan
raden Hanantareja.
Tentang Batara Bayu
Tempat tinggal : Kayangan
Panglawung
Ayah : Batara Guru
Ibu : Dewi Uma
Istri : Dewi Sumi
Kesaktian :
Batara Bayu mempunyai kesaktian
angin dan ia menjadi dewanya hewan, raksasa, dan manusia.
Yang tersebut golongan putera
dewa Bayu adalah :
Batara Bayu
Hanuman
Wrekodara Wil Jajalpaweka
Liman setubanda
Sarpa Nagakuawara
Garudha Mahambira
Begawan Maenaka
Keterangan :
Batara Bayu pernah menjadi raja
di Mayapada di negara Medanggora, bergelar prabu Bhima. Pada ceritera
Pedalangan dalam lakon Bhima Bungkus di situ terlukis putera Pandu yang masih
berada dalam keadaan terbungkus, sebelum sang bayi berwujud sebagai layaknya
bayi biasa, Batara Bayu masuk kedalam bungkus sang bayi dan memberinya busana
seorang kesatria.
Tentang Batara Brama
Tempat : Kayangan Deksina di
dalam pedalangan sering disebut kayangan Argadahana.
Ayah : Batara Guru
Istri : Dewi Saraswati
Ibu : Batari Uma
Kesaktian : Dewa yang menguasai
api.
Keterangan:
Batara Brama pernah memberikan
pusaka Alugara dan Nanggala kepada raden Kakrasana pada saat ia bertapa di
pertapaan Arsonya. Maka seolah-olah Hyang Brama adalah guru dari raden
Kakrasana. maka kalau kita lihat bentuk wayang Prabu Baladewa, raden Kakrasana
mirip dengan bentuk wayang Batara Brama. Batara Brama selalu atau sering
mengikuti perjalanan Batara Guru ke Ngarcapada / Bumi menjelma menjadi raja seberang
dengan nama misal prabu Dewa Pawaka atau yang lain.
Hal ini dapat digagalkan oleh
Semar. Sehingga kehendaknya ingin memusnahkan Pandawa atau membuat onar dunia
tidak berhasil. Juga dapat dilihat dalam lakon lahirnya Wisanggeni. Tujuan
Batara Drama akan mengawinkan putrinya Dewi Dresanala dengan Dewa Srani serta
menceraikan radaen Arjuna. Hal ini dapat digagalkan oleh Semar dan para
Pandawa. Jadi kesimpulannya bahwa semua
ulah dewa jika salah akan kalah oleh tindakan manusia yang benar.
Tentang Batara Indra
Tempat : Kayangan Jonggirisaloka
Kesaktian :
Batara Indra mempunyai kekuasaan
memerintah para Dewa atas perintah Hyang Guru. Batara Indra mempunyai keahlian
berperang dan banyak mempunyai panah sakti.
Anak :
Dewi Tara
Dewi Tari
Dewi Gagar Mayang
Batari Suprada dan masih banyak
lagi yang berwujud bidadari.
Ayah : Batara Guru
Ibu : Batari Uma
Keterangan :
Batara Indra mempunyai kekuasaan
atas para dewa dan para bidadari di sorga. Selain itu sering memberikan anugrah
atau hadiah pada siapa saja yang gemar bertapa dan membantu ketentraman dunia
serta permintaan titah yang sedang bertapa.
Sebagai contoh: Raden Arjuna
mendapatkan panah Pasopati sebagai panah sakti akibat dari dia bertapa dan
membantu atas ketentraman di kayangan, sehingga panah tersebut berguna di dalam
perang besar Baratayuda
Tentang Batara Guru
Nama lain :
Hyang jagad Pratingkah
Sang Hyang catur buia
Sang Hyang Manikmaya
Tempat : Kayangan Jonggirikaelasa
Istri : Dewi Uma
Anak :
Batara Indra
Batara Bayu
Batara Wisnu
Batara Brama
Batara Kala
Batara Sakra
Batara Mahadewa
Batara Asmara
Ayah Batara Guru : Hyang Tunggal
Keterangan :
Batara Guru adalah dewa yang
merajai kayangan serta mengusai alam. Batara Guru pada saat dilahirkan berwajah
tampan serta tanpa cacat. Karena kecongkakannya dan merasa bangga karena
mempunyai wajah tampan dia akhirnya menerima hukuman dari Hyang tunggal serta
dewa yang Agung dengan bertangan empat, bercaling, leher berwarna biru. Hal ini
adalah buah dari perbuatannya. Batara Guru didalam ceritera pedalangan sering
mengganggu dunia dengan menyamar menjadi manusia ingin menghancurkan Kyai
Semar, Pandawa tetapi hal ini selalu kalah dengan kebajikan dan kejujuran yang
akhirnya Hyang Guru minta maaf dan kembali kekhayangan.
Gunungan Dalam Wayang
Kalau kita melihat pagelaran
wayang kulit pasti akan melihat gunungan, dan lebih sering disebut juga kayon.
Dinamakan gunungan karena bentuknya mirip sepucuk gunung yang mencuat tinggi
keatas. Adapun kita melihat gunungan yaitu pada saat pakeliran belum dimulai, gunungan
ditancapkan tegak lurus di tengah kelir pada batang pisang bagian atas. Tetapi
jika pakeliran telah dimulai maka gunungan ditancapkan pada simpingan bagian
kanan dan kiri.
Gunungan terdapat pada setiap
pagelaran wayang, misalnya: wayang purwa, wayang gedog, wayang krucil, wayang
golek, wayang suluh dan sebagainya. Tetapi gambar gunungan kalau kita lihat
juga banyak dijadikan simbol, atau suatu lambang.
Contoh:
Dalam lingkungan hidup atau
sering disebut Kalpataru, digambarkan lambang sebuah kayon.
Kalau kita membedakan jenis kayon
atau gunungan itu ada dua macam yaitu:
1. Kayon Gapuran
2. Kayon Blumbangan
Adapun ciri-ciri kayon gapuran
adalah sebagai berikut :
Bentuknya ramping
Lebih tinggi dari kayon
blumbangan.
Bagian bawah berlukiskan gapura.
Samping kanan dan kiri dijaga dua
raksasa kembar yaitu Cingkarabala dan balaupata.
Bagian belakang berlukiskan api
merah membara.
Adapun ciri-ciri kayon blumbangan
adalah sebagai berikut :
Bentuknya gemuk
Lebih pendek dari keyon gapuran
Bagian bawah berlukiskan kolam
dengan air yang jernih.
Ditengah ada gambar ikan
berhadap-hadapan ditengah kolam.
Bagian belakang berlukiskan api
berkobar merah membara biasanya juga ada lukisan kepala makara.
Gunungan di dalam pegelaran
wayang kulit mempunyai kegunaan yang penting sekali. Adapun guna kayon adalah
sebagai berikut:
Tanda dimulainya pentas
pedalangan dengan dicabutnya kayon lalu diletakkan pada simpingan kanan dan
kiri.
Tanda pergantian adegan / tempat.
Contoh: Setelah adegan Astina akan diganti adegan Amarta biasanya diawali
dengan memindahkan kayon atau memutar kayon lalu ditancapkan pada posisi
semula.
Untuk menggambarkan suasana.
Contoh : Suasana sedih dalam suatu adegan, kayon digerak-gerakkan diikuti
ceritera dalang.
Untuk menggambarkan sesuatu yang
tidak ada wayangnya.Contoh:Suatu ajian yang dikeluarkan dari badan tokoh
wayang. Dewa tertinggi yang tidak ada wayangnya. Misalnya Sang Hyang wenang dan
sebagainya.
Menggambarkan air, api, dan
angin. Contoh:Dari patet enem ke patet sanga di tandai dengan perubahan letak
kayon. Misalnya dari kayon condong kekiri dirubah gerak tegak lurus.
Tanda berakhirnya pentas
pakeliran yaitu dengan menancapkan kayon ditengah-tengah.
Gambar kayon didalamnya
berlukiskan :
Rumah atau balai yang indah
dengan lantai bertingkat tiga.
Dua raksasa kembar lengkap dengan
perlengkapan jaga pedang dan tameng.
Dua naga kembar bersayap dengan
dua ekornya habis pada ujung kayon.
Gambar hutan belantara yang
suburnya dengan kayu yang besar penuh dengan satwanya.
Gambar macan berhadapan dengan
banteng.
Pohon besar yang tinggi dibelit
ular besar dengan kepala berpaling kekanan.
Dua kepala makara ditengah pohon.
Dua ekor kera dan lutung sedang
bermain diatas pohon.
Dua ekor ayam hutan sedang
bertengkar diatas pohon.
Jadi kesimpulannya gambar kayon
gunungan didalamnya sudah melambangkan seluruh alam raya beserta isinya mulai
dari manusia sampai dengan hewan serta hutan dan perlengkapannya.
Tentang Wayang Purwa
WAYANG PURWA
Wayang
purwa adalah bagian dari beberapa macam yang ada, diantaranya wayang gedog,
wayang madya, wayang klitik purwa, wayang wahyu, wayang wahono dan sebagainya.
Wayang purwa sudah ada beberapa
ratus tahun yang lalu dimana wayang timbul pertama fungsinya sebagai upacara
menyembah roh nenek moyang. Jadi merupakan upacara khusus yang dilakukan nenek
moyang untuk mengenang arwah para leluhur. Bentuk wayang masih sangat sederhana
yang dipentingkan bukan bentuk wayang tetapi bayangan dari wayangan tersebut.
Perkembangan jaman dan budaya
manusia selalu berkembang wayang ikut pula dipengaruhi bentuk
Wayangpun berubah, misalnya,
bentuk mata wayang seperti bentuk mata manusia, tangan berkabung menjadi satu
dengan badannya. Hal ini dipandang kurang enak maka tangan wayang dipisah,
untuk selanjutnya diberi pewarna.
Perkembangan wayang pesat pada
jaman para wali, diantaranya Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan yang lain ikut
merubah bentuk wayang sehingga menjadi lebih indah bentuknya.
Langkah penyempurnaan di jaman
Sultan Agung Hanyakrakusuma, jaman kerajaan Pajang, kerajaan Surakarta, jaman
Pakubuwono banyak sekali menyempurnakan bentuk wayang sehingga tercipta bentuk
sekarang ini, dimana telah mengalami kemantapan yang dirasa pas dihati
pemiliknya.
Wayang - Teknik Pakem Pakeliran
Pakem
tehnik perkeliran atau wewaton tehnik perkeliran itu setiap daerah atau setiap
gaya tentu ada dan sudah barang tentu tidak dapat diabaikan sama sekali. Hal
itu erat sekali hubungannya dengan perasaan indah yang hidup di masing-masing
daerah. Misalnya perkeliran gaya sala berbeda dengan gaya yogya. Berbeda pula
dengan gaya banyumas, tegal, jawa timur, dll. Mungkin hal ini pula
sangkut-pautnya dengan falsafah hidup dalam masyarakat itu sendiri-sendiri.
Maka dari itu uraian tentang
pakem atau wewaton tehnik perkeliran, pada kesempatan ini kami batasi dengan
hanya mengemukakan wewaton tehnik perkeliran menurut seni pedalangan gaya
Yogyakarta.
Pergelaran seni pedalangan gaya
Yogyakarta yang diperkelirkan semalam suntuk itu, pada dasarnya terbagi dalam 3
bagian yang besar, ialah
Permulaan pergelaran dengan
“pathet lasem” yang sering juga disebut “pathet nem”.
Lalu disusul dengan “pathet
sanga” ; dan
Kemudian dengan “pathet manura” ,
yang pada akhir pathet mayura ini disebut “galong” (pada waktu fajar
menyingsing).
Label: lakon, wayang
Lakon - lakon Pewayangan
Lakon-lakon
pewayangan yang begitu banyak dipergelarkan dewasa ini, pada hakekatnya dapat
dibagi menjadi 4 bagian, ialah: 1. Lakon wayang yang disebut pakem; 2. Lakon
wayang yang disebut carangan; 3. Lakon wayang yang disebut gubahan; 4. Lakon
wayang yang disebut karangan.
Perinciannya sebagai berikut :
Lakon pakem : yang disebut
lakon-lakon pakem itu sebagian besar ceriteranya mengambil dari sumber-sumber
ceritera dari perpustakaan wayang, misalnya : lakon Bale Sigala-gala, pandawa
dadu, baratayuda, rama gandrung, subali lena, anoman duta, brubuh ngalengka
dll.
Lakon carangan : yang disebut
carangan itu hanya garis pokoknya saja yang bersumber pada perpustakaan wayang,
diberi tambahan atau bumbu-bumbu berupa carangan (carang Jw = dahan), seperti
lakon-lakon : babad alas mertani, partakrama, aji narantaka, abimanyu lahir dll.
Lakon gubahan : yang disebut
gubahan itu ialah lakon yang tidak bersumber pada buku-buku ceritera wayang,
tetapi hanya menggunakan nama dan negara-negara dari tokoh-tokoh yang termuat
dalam buku-buku ceritera wayang, misalnya lakon-lakon: irawan Bagna, gambiranom,
dewa amral, dewa katong dsb.
Lakon karangan : yang disebut
lakon karangan itu ialah suatu lakon yang sama sekali lepas dari ceritera
wayang yang terdapat dalam buku-buku sumber ceritera wayang, misalnya
lakon-lakon : praja binangun, linggarjati, dsb. Dalam lakon praja binangun
tersebut diketengahkan nama tokoh-tokoh wayang seperti : ratadahana (Jendral
Spoor), Kala Miyara (Meiyer), Dewi Saptawulan (Juliana), Bumiandap (Nederland)
dsb.
Perlu pula diketahui bahwa
lakon-lakon wayang yang disebut carangan, gubahan dan karangan itu, banyak juga
lakon yang merupakan kiasan, misalnya : Lakon babad alas mertani mengandung
kias assimilasi (perkawinan) falsafah Hindu dan Jawa. Demikian pula lakon-lakon
seperti : pandawa Pitu, Pandawa Sanga, senggana racut dsb itu berisi kias dan
maksud mengenai ilmu kebatinan (baca: kejawen).
Filosofi Wayang - Pengantar
Pindahnya
Keraton Kasunanan dari Kartasura ke Desa Solo (sekarang Surakarta) membawa
perkembangan juga dalam seni pewayangan. Seni pewayangan yang merupakan seni
pakeliran dengan tokoh utamanya Ki Dalang adalah suatu bentuk seni gabungan
antara unsur seni tatah sungging (seni rupa) dengan menampilkan tokoh wayangnya
yang diiringi dengan gending/irama gamelan, diwarnai dialog (antawacana),
menyajikan lakon dan pitutur/petunjuk hidup manusia dalam falsafah.
Seni pewayangan dapat digelar
dalam bentuk Wayang Kulit Purwa, dilatar-belakangi layar/kelir dengan pokok
cerita yang sumbernya dari Mahabharata dan Ramayana, berasal dari India. Namun
ada juga pagelaran wayang kulit purwa dengan lakon cerita yang di petik dari
ajaran Budha, seperti cerita yang berkaitan dengan upacara ruwatan (pensucian
diri manusia). Pagelaran wayang kulit purwa biasanya memakan waktu semalam
suntuk.
Semasa Sri Susuhunan X di Solo
didirikan tempat pementasan Wayang Orang, yaitu di Sriwedari yang merupakan
bentuk pewayangan panggung dengan pemainnya terdiri dari orang-orang yang
memerankan tokoh-tokoh wayang. Baik cerita maupun dialognya dilakukan oleh
masing-masing pemain itu sendiri. Pagelaran ini diselenggarakan rutin setiap
malam. Bentuk variasi wayang lainnya yaitu wayang Golek yang wayangnya terdiri
dari boneka kayu.
Seniman cina yang berada di Solo
juga kadang menggelar wayang golek cina yang disebut Wayang Potehi. Dengan
cerita dari negeri Cina serta iringan musiknya khas cina.
Ada juga Wayang Beber yang dalam
bentuknya merupakan lembaran kain yang dilukis dan diceritakan oleh sang
Dalang, yang ceritanya berkisar mengenai Keraton Kediri, Ngurawan, Singasari
(lakon Panji).
Wayang Klitik adalah jenis
pewayangan yang media tokohnya terbuat dari kayu, ceritanya diambil dari babat
Majapahit akhir (cerita Dhamarwulan).
Dulu terkadang "wong
Solo" memanfaatkan waktu senggangnya membuat wayang dari rumput, disebut
Wayang Rumput
Orang jawa mempunyai jenis
kesenian tradisional yang bisa hidup dan berkembang hingga kini dan mampu
menyentuh hati sanubari dan menggetarkan jiwa, yaitu seni pewayangan. Selain
sebagai alat komunikasi yang ampuh serta sarana memahami kehidupan, wayang bagi
orang jawa merupakan simbolisme pandangan-pandangan hidup orang jawa mengenai
hal-hal kehidupan.
Dalam wayang seolah-olah orang
jawa tidak hanya berhadapan dengan teori-teori umum tentang manusia, melainkan
model-model hidup dan kelakuan manusia digambarkan secara konkrit. Pada
hakekatnya seni pewayangan mengandung konsepsi yang dapat dipakai sebagai
pedoman sikap dan perbuatan dari kelompok sosial tetentu.
Konsepsi-konsepsi tersebut tersusun
menjadi nilai nilai budaya yang tersirat dan tergambar dalam alur
cerita-ceritanya, baik dalam sikap pandangan terhadap hakekat hidup, asal dan
tujuan hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
lingkungannya serta hubungan manusia jawa dengan manusia lain.
Pertunjukkan wayang terutama
wayang kulit sering dikaitkan dengan upacara adat: perkawinan, selamatan
kelahiran bayi, pindahan rumah, sunatan, dll, dan biasanya disajikan dalam
cerita-cerita yang memaknai hajatan dimaksud, misalnya dalam hajatan perkawinan
cerita yang diambil "Parto Krama" (perkawinan Arjuna), hajatan
kelahiran ditampilkan cerita Abimanyu lahir, pembersihan desa mengambil cerita
"Murwa Kala/Ruwatan"
Makna Gambar Semar dalam Pewayangan
Gambar Wayang Semar kiranya
merupakan simbol pengertian atau konsepsi dari aspek sifat Ilahi, yang kalau
dibaca bunyinya :
Yang wayang itu hanyalah kulit
Yang kulit itu bukan Hakekat
Samasekali bukan , Ia
Hanyalah lambang dan sifat-sifat
Nama-nama dan aspeknya
Yang dalam lambang itu Maya
Dalam Maya ada Ia
Ia adalah yang Maha Wisesa, Wenang wening
Ia tak tampak tapi ada
Ada ini sebagai ada yang pertama
Dan tidak pernah tidak ada
Adanya adalah tunggal
Adanya adalah Mutlak
Ia satu-satunya kenyataan
Ada adalah tak tampak mata
Gaib, misterius, samar
Karena yang ada mutlak itu Tunggal
Yang Tunggal adalah kebenaran
Kebenaran mutlak karena tak ada kebenaran yang mendua
Tan Hana Dharma Mngrwa
Jadi Sang Hyang Tunggal adalah Kebenaran
Sang Hyang Tunggal adalah Samarnya SEMAR
Samar adalah aspek sifat dan Nama
Samar ada pada SEMAR
Daftar Raja-raja Jawa
Mataram Kuno
Dinasti Syailendra
Bhanu (752-775)
Wisnu (775-782)
Indra (782-812)
Samaratungga (812-833)
Pramodhawardhani (833-856),
menikah dengan Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya)
Dinasti Sanjaya
Sanjaya (732-7xx)
Rakai Panangkaran
Rakai Panunggalan
Rakai Warak
Rakai Garung
Rakai Patapan (8xx-838)
Rakai Pikatan (838-855), mendepak
Dinasti Syailendra
Rakai Kayuwangi (855-885)
Dyah Tagwas (885)
Rakai Panumwangan Dyah Dewendra
(885-887)
Rakai Gurunwangi Dyah Badra (887)
Rakai Watuhumalang (894-898)
Rakai Watukura Dyah Balitung
(898-910)
Daksa (910-919)
Tulodong (919-921)
Dyah Wawa (924-928)
Mpu Sindok (928-929), memindahkan
pusat kerajaan ke Jawa Timur (Medang)
Sanjaya Gusti
Medang
Mpu Sindok (929-947)
Sri Isyanatunggawijaya (947-9xx)
Makutawangsawardhana (9xx-985)
Dharmawangsa Teguh (985-1006)
Kahuripan
Airlangga (1019-1045), mendirikan
kerajaan di reruntuhan Medang
(Airlangga kemudian memecah
Kerajaan Kahuripan menjadi dua: Janggala dan Kadiri)
Janggala
(tidak diketahui silsilah
raja-raja Janggala hingga tahun 1116)
Kadiri
(tidak diketahui silsilah
raja-raja Kadiri hingga tahun 1116)
Kameswara (1116-1135),
mempersatukan kembali Kadiri dan Panjalu
Jayabaya (1135-1159)
Rakai Sirikan (1159-1169)
Sri Aryeswara (1169-1171)
Sri Candra (1171-1182)
Kertajaya (1182-1222)
Singhasari
Tunggul Ametung (1222)tewas
dibunuh Ken Arok.
Ken Arok (1222-1227)
Anusapati (1227-1248)
Tohjaya (1248)
Ranggawuni (Wisnuwardhana)
(1248-1254)
Kertanagara ( 1254-1292)
Majapahit
Raden Wijaya (Kertarajasa
Jayawardhana) (1293-1309)
Jayanagara (1309-1328)
Tribhuwana Wijayatunggadewi
(1328-1350)
Hayam Wuruk (Rajasanagara)
(1350-1389)
Wikramawardhana (1390-1428)
Suhita (1429-1447)
Dyah Kertawijaya (1447-1451)
Rajasawardhana (1451-1453)
Girishawardhana (1456-1466)
Singhawikramawardhana
(Suraprabhawa) (1466-1474)
Girindrawardhana Dyah
Wijayakarana(1468-1478)
Singawardhana Dyah Wijayakusuma
(menurut Pararaton menjadi Raja Majapahit selama 4 bulan sebelum wafat secara
mendadak ) ( ? - 1486 )
Girindrawardhana Dyah Ranawijaya
alias Bhre Kertabumi (diduga kuat sebagai Brawijaya, menurut Kitab Pararaton
dan Suma Oriental karangan Tome Pires pada tahun 1513) (1474-1519)
Demak
Raden Patah (1478 - 1518)
Pati Unus (1518 - 1521)
Sultan Trenggono (1521 - 1546)
Sunan Prawoto (1546 - 1561)
Kesultanan Pajang
Jaka Tingkir, bergelar Sultan
Hadiwijoyo (1549 - 1582)
Arya Pangiri, bergelar Sultan
Ngawantipuro (1583 - 1586)
Pangeran Benawa, bergelar Sultan
Prabuwijoyo (1586 - 1587)
Mataram Baru
Daftar
ini merupakan Daftar penguasa Mataram Baru atau juga disebut sebagai Mataram
Islam, meski penamaan terakhir ini kurang pas. Catatan: sebagian nama penguasa
di bawah ini dieja menurut ejaan bahasa Jawa.
Ki Ageng Pamanahan, menerima
tanah perdikan Mataram dari Jaka Tingkir
Panembahan Senopati (Raden
Sutawijaya) (1587 - 1601), menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka.
Panembahan Hanyakrawati (Raden
Mas Jolang) (1601 - 1613)
Adipati Martapura (1613 selama
satu hari)
Sultan Agung (Raden Mas Rangsang
/ Prabu Hanyakrakusuma) (1613 - 1645)
Amangkurat I (Sinuhun Tegal Arum)
(1645 - 1677)
Kasunanan Kartasura
Amangkurat II (1680 – 1702),
pendiri Kartasura.
Amangkurat III (1702 – 1705),
dibuang VOC ke Srilangka.
Pakubuwana I (1705 – 1719),
pernah memerangi dua raja sebelumya; juga dikenal dengan nama Pangeran Puger.
Amangkurat IV (1719 – 1726),
leluhur raja-raja Surakarta dan Yogyakarta.
Pakubuwana II (1726 – 1742),
menyingkir ke Ponorogo karena Kartasura diserbu pemberontakl; mendirikan
Surakarta.
Kasunanan Surakarta
Pakubuwana I/Pangeran Puger (1704
- 1719), memerintah Kasunanan Kartasura
Pakubuwana II (1745 - 1749),
pendiri kota Surakarta; memindahkan keraton Kartasura ke Surakarta pada tahun
1745
Pakubuwana III (1749 - 1788),
mengakui kedaulatan Hamengkubuwana I sebagai penguasa setengah wilayah
kerajaannya.
Pakubuwana IV (1788 - 1820)
Pakubuwana V (1820 - 1823)
Pakubuwana VI (1823 - 1830),
diangkat sebagai pahlawan nasional Indonesia; juga dikenal dengan nama Pangeran
Bangun Tapa.
Pakubuwana VII (1830 - 1858)
Pakubuwana VIII (1859 - 1861)
Pakubuwana IX (1861 - 1893)
Pakubuwana X (1893 - 1939)
Pakubuwana XI (1939 - 1944)
Pakubuwana XII (1944 - 2004)
Dua orang Pakubuwana XIII (2004 -
sekarang), terjadi perebutan takhta antara Pangeran Hangabehi dan Pangeran
Tejowulan.
Kasultanan Yogyakarta
Hamengkubuwana I (1755 - 1792)
Hamengkubuwana II (1793 - 1828)
Hamengkubuwana III (1810 - 1814)
Hamengkubuwana IV (1814 - 1822)
Hamengkubuwana V (1822 - 1855)
Hamengkubuwana VI (1855 - 1877)
Hamengkubuwana VII (1877 - 1921)
Hamengkubuwana VIII (1921 - 1939)
Hamengkubuwana IX (1939 - 1988)
Hamengkubuwana X (1988 –
sekarang)
Keblat Papat Limo Pancer
Sejak
dahulu orang Jawa telah mempunyai “ perhitungan “ ( petung Jawa ) tentang
pasaran, hari, bulan dan lain sebagainya. Perhitungan itu meliputi baik
buruknya pasaran, hari, bulan dan lain sebagainya. Khusus tentang hari dan
pasaran terdapat di dalam mitologi sebagai berikut :
1. Batara Surya ( Dewa Matahari ) turun ke
bumi menjelma menjadi Brahmana Raddhi di gunung tasik. Ia menggubah hitungan
yang disebut Pancawara ( lima bilangan ) yang sekarang disebut Pasaran yakni :
Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon nama kunonya : Manis, Pethak ( an ) Abrit (
an ) Jene ( an ) Cemeng ( an ), kasih. ( Ranggowarsito R.NG.I : 228 )
2. Kemudian Brahmana Raddhi diboyong
dijadikan penasehat Prabu Selacala di Gilingwesi sang Brahmana membuat sesaji,
yakni sajian untuk dewa-dewa selama 7 hari berturut-turut dan tiap kali habis
sesaji, hari itu diberinya nama sebagai berikut
Sesaji Emas, yang dipuja
Matahari. Hari itu diberinya nama Radite, nama sekarang : Ahad.
Sesaji Perak, yang dipuja bulan.
Hari itu diberinya nama : Soma, nama sekarang : Senen.
Sesaji Gangsa ( bahan membuat
gamelan, perunggu ) yang dipuja api, hari itu diberinya nama : Anggara, nama
sekarang Selasa.
Sesaji Besi, yang dipuja bumi,
hari itu diberinya nama : buda, nama sekarang : Rebo.
Sesaji Perunggu, yang dipuja
petir. Hari itu diberinya nama : Respati, nama sekarang : Kemis.
Sesaji Tembaga, yang dipuja Air.
Hari itu diberinya nama : Sukra, nama sekarang : Jumat
Sesaji Timah, yang dipuja Angin.
Hari itu diberinya nama : Saniscara disebut pula : Tumpak, nama sekarang :
Sabtu.
Nama sekarang hari-hari tersebut
adalah nama hari-hari dalam Kalender Sultan Agung, yang berasal dari kata-kata
Arab ( Akhad, Isnain, Tslasa, Arba’a, Khamis, Jum’at, Sabt ) nama-nama sekarang
itu dipakai sejak pergantian Kalender Jawa – Asli yang disebut Saka menjadi
kalender Jawa / Sultan Agung yang nama ilmiahnya Anno Javanico ( AJ ). Pergantian kalender itu
mulai 1 sura tahun Alip 1555 yang jatuh pada 1 Muharam 1042 = Kalender masehi 8
Juli 1633. Itu hasil perpaduan agama Islam dan kebudayaan Jawa.
Angka tahun AJ itu meneruskan
angka tahun saka yang waktu itu sampai tahun 1554, sejak itu tahun saka tidak
dipakai lagi di Jawa, tetapi hingga kini masih digunakan di Bali. Rangkaian
kalender saka seperti : Nawawara ( hitungan 9 atau pedewaan ) Paringkelan (
kelemahan makhluk ) Wuku ( 30 macam a’7 hati, satu siklus 210 hari ) dll.
Dipadukan dengan kalender Sultan
Agung ( AJ ) tersebut, keseluruhan merupakan petungan ( perhitungan ) Jawa yang
dicatat dalam Primbon. Dikalangan suku Jawa, sekalipun di lingkungan kaum
terpelajar, tidak sedikit yang hingga kini masih menggunakannya ( baca :
mempercayai ) primbon.
Sunan Kalijaga Gurunya Orang Jawa
Sunan Kalijaga yang hidup di jaman Kerajaan Islam Demak (sekitar abad 15) aslinya bernama Raden Said, adalah putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta/Raden Sahur. Raden Sahur adalah keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu. Sunan Kalijaga diperkenalkan agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban sejak kecil.
Melihat lingkungan sekitar yang
kontradiktif dengan kehidupan rakyat jelata yang serba kekurangan, menyebabkan
ia bertanya kepada Ayahnya mengenai hal tersebut, yang dijawab bahwa itu adalah
untuk kepentingan kerajaan Majapahit yang membutuhkan dana banyak untuk
menghadapi pemberontakan. Maka secara diam-diam ia bergaul dengan rakyat
jelata, menjadi pencuri untuk mengambil sebagian barang-barang di gudang dan
membagikan kepada rakyat yang membutuhkan.
Namun akhirnya ia ketahuan dan
dihukum cambuk 200 (dua ratus) kali ditangannya dan disekap beberapa hari oleh
Ayahnya, yang kemudian ia pergi tanpa pamit. Mencuri atau merampok dengan
topeng ia lakukan, demi rakyat jelata. Tapi ia tertangkap lagi, yang menyebabkan
ia diusir oleh Ayahnya dari Kadipaten. Iapun tinggal di hutan Jatiwangi dan
menjadi perampok orang kaya, dan berjuluk Brandal Lokajaya. Suatu waktu ia
berjumpa dengan Sunan Bonang, dan dibawa ke Tuban untuk menjadi muridnya,
memperdalam agama Islam. Lalu akhirnya ia menjadi pengembara yang menyebarkan
agama Islam (sebelumnya sempat menemui kedua orang tuanya), yang dihari tuanya
ia tinggal dan meninggal di desa Kadilangu Demak.
Ia dikenal sebagai Mubaligh/Da’i
keliling, ulama besar, seorang Wali yang memiliki karisma tersendiri di antara
wali-wali yang lain, paling terkenal di berbagai lapisan masyarakat apalagi
kalangan bawah. Ia disebagian tempat juga dikenal bernama Syekh Malaya. Ia
dapat dikatakan sebagai ahli budaya, misalnya: pengenalan agama secara luwes
tanpa menghilangkan adat-istiadat/kesenian daerah (adat lama yang ia beri warna
Islami), menciptakan baju Taqwa (lalu disempurnakan oleh Sultan Agung dengan
destar nyamping dan keris serta rangkaian lainnya), menciptakan tembang
Dandanggula dan Dandanggula Semarangan, menciptakan lagu Lir Ilir yang sampai
saat ini masih akrab dikalangan sebagian besar orang Jawa, pencipta seni ukir
bermotif daun-daunan, memerintahkan sang murid bernama Sunan Bayat untuk
membuat bedug di Masjid guna mengerjakan sholat jama’ah.
Acara ritual berupa Gerebeg
Maulud yang asalnya dari tabligh/pengajian akbar yang diselenggarakan para Wali
di Masjid Demak untuk memperingati maulud nabi, menciptakan Gong Sekaten
bernama asli Gong Syahadatain (dua kalimah syahadat) yang jika dipukul akan
berbunyi dan bermakana bahwa mumpung masih hidup agar berkumpul masuk agama
Islam, pencipta Wayang Kulit diatas kulit kambing, sebagai Dalang (dari kata
dalla’ yang berarti menunjukkan jalan yang benar) wayang kulit dengan beberapa
cerita yang ia senangi yaitu antara lain Jimat Kalimasada dan Dewa Ruci serta
Petruk Jadi Raja dan Wahyu Widayat, serta sebagai ahli tata kota seperti
misalnya pengaturan Istana atau Kabupaten dengan Alun-alun serta pohon beringin
dan masjid.
Sebagai penutup, kami tuliskan
teks tembang Lir Ilir, sebagai berikut :
“Lir ilir lir ilir tandure wis
sumilir, Tak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar, Cah angon cah angon
penekno blimbing kuwi, Lunyu-lunyu penekno kanggo masuh dodotiro-dodotiro,
Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir, Domono jlumotono kanggo seba
mengko sore, Mumpung jembar kalangane mumpung padhang rembulane, Yo surako
surak horee.”
Suka atau tidak suka, pada
kenyataannya Sunan Kalijaga dapat dikatakan sebagai gurunya atau dewanya Islam
bagi besar orang sebagian Jawa. Bahkan Panembahan Senopati, sebelum membangun
Mataram selepas jaman Pajang (Sultan Hadiwijoyo) sempat diwejang dahulu oleh
Sunan Kalijaga di tepi laut di muara Kali Opak, selepas bertapa dan bertemu
dengan Nyi Roro Kidul.
Budaya Kebatinan Orang Jawa
Menurut
pandangan ilmu mistik kebatinan orang jawa, kehidupan manusia merupakan bagian
dari alam semesta secara keseluruhan, dan hanya merupakan bagian yang sangat
kecil dari kehidupan alam semesta yang abadi, dimana manusia itu seakan-akan
hanya berhenti sebentar untuk minum (urip iku mung mampir ngombe).
Sikap. Gaya hidup, dan banyak
aktivitas sebagai latihan upacara yang harus diterima dan dilakukan oleh
seorang, yang ingin menganut mistik dibawah pimpinan guru dan panuntun agama
itu, pada dasarnya sama pada berbagai gerakan kebatinan jawa yang ada. Hal yang
mutlak perlu adalah kemampuan untuk melepaskan diri dari dunia kebendaan, yaitu
memiliki sifat rila (rela) untuk melepaskan segala hak milik, pikiran atau
perasaan untuk memiliki, serta keinginan untuk memiliki.. melalui sikap
rohaniah ini orang dapat membebaskan diri dari berbagai kekuatan serta pengaruh
dunia kebendaan di sekitarnya.
Sikap menyerah serta mutlak ini
tidak boleh dianggap sebagai tanda sifat lemahnya seseorang; sebaliknya ia
menandakan bahwa orang seperti itu memiliki kekuatan batin dan keteguhan iman.
Kemampuan untuk membebaskan diri dari dunia kebendaan dan kehidupan duniawi
juga melibatkan sikap narima yaitu sikap menerima nasib, dan sikap bersabar,
yang berarti sikap menerima nasip dengan rela. Kemampuan untuk memiliki
sikap-sikap semacam itu dapat diperoleh dengan hidup sederhana dalam arti yang
sesungguhnya, hidup bersih, tetapi juga dengan jalan melakukan berbagai
kegiatan upacara kegiatan upacara yang meningkatkan kemampuan berkonsentrasi
dengan jalan mengendalikan diri, dan melakukan berbagai latihan samadi. Melalui
latihan bersemedi di harapkan agar orang dapat membebaskan dirinya dari keadaan
sekitarnya, yaitu menghentikan segala fungsi tubuh dan keinginan serta nafsu
jasmaninya. Hal ini dapat memberikan keheningan pikiran dan membuatnya mengerti
dan menghayati hakekat hidup serta keselarasan antara kehidupan rohaniah dan
jasmaniah. Apabila orang sudah bebas dari beban kehidupan duniawi (pamudharan),
maka orang itu setelah melalui beberapa tahap berikutnya, pada suatu saat akan
dapat bersatu dengan Tuhan (jumbuhing kawula Gusti, atau Manunggaling
kawula-Gusti)/Pendekatan kepada Illahi.
Namun dengan tercapainya pamudharan,
yang memungkinkan orang untuk melepaskan diri dari kehidupan dunia kebendaan,
orang itu juga tidak terbebas dari kewajiban-kewajibannya dalam kehidupan yang
konkret; bahkan, orang yang sudah mencapai pamudharan, wajib amemayu ayuning
bawana, atau berupaya memperindah dunia, yaitu berusaha memelihara dan
memperindah dengan jalan melakukan hal-hal yang baik, dan hidup dengan penuh
tanggung jawab.
Gerakan Untuk Purifikasi Jiwa
Semua
organisasi kebatinan yang besar, kecuali SUBUD, memang bersifat mistik; banyak
gerakan kebatinan, terutama yang jumlah anggotanya sedikit, hanya berusaha
untuk mencapai purifikasi jiwa, tanpa mempunyai tujuan untuk bersatu dengan
Tuhan. Hal yang mereka inginkan hanyalah memperoleh suatu kehidupan kerohanian
yang mantap, tanpa rasa takut dan rasa ketidak-pastian. Inilah yang oleh orang
jawa disebut orang yang sudah “bebas” (kamanungsan, kasunyatan). Cara untuk
kamanungsan pada umumnya sama dengan cara untuk mencapai pamudharan tersebut
diatas. Kecuali beberapa variasi kecil, maka cara untuk mencapai purifikasi
jiwa pada dasarnya adalah dengan menjalankan kehidupan yang penuh tanggung
jawab, baik secara moral, sederhana, mampu membebaskan diri dari keduniawian,
mempunyai sikap yang baik terhadap kehidupan, nasib dan kematian dan melakukan
samadi secara ketat. Oleh karena gerakan-gerakan kebatinan ini berusaha mencari
kebebasan rohaniah individu, maka orang mudah mengerti bahwa sifatnya agak
individualis; gerakan-gerakan seperti itu paling tidak menarik bagi orang-orang
yang membutuhkan kehidupan keagamaan, tanpa harus menaati peraturan-peraturan
keagamaan yang resmi secara ketat, namun menyesuaikan dengan adat istiadat
(Said 1972-a: 153-154)
Kebatinan Yang Berdasarkan Ilmu Gaib
Diseluruh
daerah tempat tinggal orang jawa banyak terdapat gerakan-gerakan kebatinan yang
hanya beranggotakan beberapa puluh orang saja. Kebanyakan dari gerakan seperti
itu berpusat di kota-kota dan pada umumnya bersifat rahasia, yaitu dengan
tujuan-tujuan yang bersifat mistik, moralis, atau etis dan dipimpin oleh
seorang guru. Untuk mencapai tujuannya, para anggota gerakan seperti itu banyak
melakukan praktek-praktek ilmu gaib, disamping studi dan bersamadi.
Banyak dari budaya semacam itu
pada awalnya adalah suatu organisasi yang mengajar seni bela diri pencak.
Kecuali memberi latihan fisik, gurunya juga melatih murid-muridnya untuk
melakukan meditasi. Untuk menciptakan suasana keramat, ada juga yang ditabah
berbagai ritus ilmu gaib secara rahasia yang dimaksudkan agar para muridnya,
memperoleh kekebalan dan kesaktian tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar