Senin, 14 Mei 2012

Pewayangan


Bathara Narada
  


Narada  atau Narada Muni adalah seseorang yang bijaksana dalam tradisi Hindu, yang memegang peranan penting dalam kisah-kisah Purana, khususnya Bhagawatapurana. Narada digambarkan sebagai pendeta yang suka mengembara dan memiliki kemampuan untuk mengunjungi planet-planet dan dunia yang jauh. Ia selalu membawa alat musik yang dikenal sebagai vina, yang pada mulanya dipakai oleh Narada untuk mengantarkan lagu pujian, doa-doa, dan mantra-mantra sebagai rasa bakti terhadap Dewa Wisnu atau Kresna.

Dalam tradisi Waisnawa ia memiliki rasa hormat yang istimewa dalam menyanyikan nama Hari dan Narayana dan proses pelayanan didasari rasa bakti yang diperlihatkannya, dikenal sebagai bhakti yoga seperti yang dijelaskan dalam kitab yang merujuk kepadanya, yang dikenal sebagai Narad Bhakti Sutra.


Putra Dewa Brahma

Menurut legenda, Narada dipandang sebagai Manasputra, merujuk kepada kelahirannya ‘dari pikiran Dewa Brahma’, atau makhluk hidup pertama seperti yang digambarkan dalam alam semesta menurut Purana. Ia dihormati sebagai Triloka sanchaari, atau pengembara sejati yang mengarungi tiga dunia yaitu Swargaloka (surga), Mrityuloka (bumi) dan Patalloka (alam bawah). Ia melakukannya untuk menemukan sesuatu mengenai kehidupan dan kemakmuran orang. Ia orang pertama yang melakukan Natya Yoga. Ia juga dikenal sebagai Kalahapriya.

Narada Muni memiliki posisi penting yang istimewa di antara tradisi Waisnawa. Dalam kitab-kitab Purana, ia termasuk salah satu dari dua belas Mahajana, atau ‘pemuja besar’ Dewa Wisnu. Karena ia adalah gandharva dalam kehidupan dahulu sebelum ia menjadi Resi, ia berada dalam kategori Dewaresi.

Pencerahan


            Bhagawata Purana menceritakan pencerahan spiritual yang dialami Narada: Dalam kehidupannya yang dulu, Narada adalah gandharva (sejenis malaikat) yang dikutuk agar lahir di planet bumi karena melanggar sesuatu. Maka ia kemudian lahir sebagai putera seorang pelayan yang khusus melayani pendeta suci (brahmin). Para pendeta yang berkenan dengan pelayanan Narada dan ibunya, memberkahinya dengan mengizinkannya memakan sisa makanan mereka (prasad) yang sebelumnya dipersembahkan kepada dewa mereka, yaitu Wisnu.

Perlahan-lahan Narada menerima berkah dan berkah lagi dari para pendeta tersebut, dan mendengarkan mereka memperbincangkan banyak topik mengenai spiritual. Lalu pada suatu hari, ibunya meninggal karena digigit ular, dan karena menganggap itu adalah perbuatan Dewa (Wisnu), ia memutuskan untuk pergi ke hutan demi mencari pencerahan agar memahami ‘Kebenaran yang paling mutlak’.

Ketika di dalam hutan, Narada menemukan tempat yang tenang, dan setelah melepaskan dahaga dari sungai terdekat, ia duduk di bawah pohon dan bermeditasi (yoga), berkonsentrasi kepada wujud paramatma Wisnu di dalam hatinya, seperti yang pernah diajarkan oleh para pendeta yang pernah dilayaninya. Setelah beberapa lama, Narada melihat sebuah penampakan, dimana Narayana (Wisnu) muncul di depannya, tersenyum, dan berkata bahwa ‘meskipun ia memiliki anugerah untuk melihat wujud tersebut pada saat itu juga, Narada tidak akan dapat melihat wujudnya (Wisnu) lagi sampai ia mati’. Narayana kemudian menjelaskan bahwa kesempatan yang diberikan agar Narada dapat melihat wujudnya disebabkan oleh keindahan dan rasa cintanya, dan akan menjadi sumber inspirasi dan membakar keinginannya yang terlelap untuk bersama sang dewa lagi. Setelah memberi tahu Narada dengan cara tersebut, Wisnu kemudian menghilang dari pandangannya. Narada bangun dari meditasinya dengan terharu sekaligus kecewa.


Resi Narada terbang menuju planet Dewa-Dewi yang jauh.
(Sumber: Krishna.com)

            Selama sisa hidupnya Narada memusatkan rasa baktinya, bermeditasi, dan menyembah Wisnu. Setelah kematiannya, Wisnu menganugerahinya dengan wujud spiritual “Narada”, yang kemudian dikenal banyak orang. Dalam beberapa susastra Hindu, Narada dianggap sebagai penjelmaan (awatara) dewa, dan berkuasa untuk melakukan tugas-tugas yang ajaib atas nama Wisnu.

Narada dalam budaya Jawa

            Batara Narada ialah batara pengadil dan penyampai berita ke Pandawa. Batara Narada tadinya bernama Kanekaputra. Saat ia itu ia masih berupa Dewa yang bagus rupanya. Untuk mengejar kesaktiannya, maka Kanekaputra bersemadi di tengah samudera dengan tidak bergerak-gerak. Oleh Batara Guru hal ini dianggapnya sebagai usaha Kanekaputra untuk menguasai Suryalaya. Maka diperintahkannya semua dewa untuk menyerang Kanekaputra dengan segala macam senjata agar gagallah semadinya. Namun Kanekaputra tetap pada semadinya, dan tetap tidak bergerak. Akhirnya Batara Guru sendiri pergi ke hadapan Kanekaputra, dan terjadilah bantah-membantah antara keduanya. Dalam hal ini, Batara Guru keluar sebagai pihak yang kalah-bantah. Maka untuk seterusnya Batara Guru memanggil Kanekaputra dengan kakang, kanda, karena merasa lebih muda.

Suatu ketika amat murkalah Batara Guru, hingga dikutuknya Kanekaputra sehingga berwuju seperti sekarang, kemudian ia dipanggil dengan Narada.


Kresna - Sang Wisnu





            Kresna atau Krishna adalah salah satu Dewa yang banyak dipuja oleh umat Hindu karena dianggap merupakan aspek dari Brahman. Ia disebut pula Narayana, yaitu sebutan yang merujuk kepada perwujudan Dewa Wisnu yang berlengan empat di Waikuntha. Ia biasanya digambarkan sebagai sosok pengembala muda yang memainkan seruling (seperti misalnya dalam Bhagawatapurana) atau pangeran muda yang memberikan tuntunan filosofis (seperti dalam Bhagawadgita).

Dalam Agama Hindu pada umumnya, Kresna dipuja sebagai awatara Wisnu yang kedelapan, dan dianggap sebagai Dewa yang paling hebat dalam perguruan Waisnawa. Dalam tradisi Gaudiya Waisnawa, Kresna dipuja sebagai sumber dari segala awatara (termasuk Wisnu).

Menurut kitab Mahabharata, Kresna berasal dari Kerajaan Surasena, namun kemudian ia mendirikan kerajaan sendiri yang diberi nama Dwaraka. Dalam wiracarita Mahabharata, ia dikenal sebagai tokoh raja yang bijaksana, sakti, dan berwibawa.

Dalam kitab Bhagawadgita, ia adalah perantara kepribadian Brahman yang menjabarkan ajaran kebenaran mutlak (dharma) kepada Arjuna. Ia mampu menampakkan secercah kemahakuasaan Tuhan yang hanya disaksikan oleh tiga orang pada waktu perang keluarga Bharata akan berlangsung. Ketiga orang tersebut adalah Arjuna, Sanjaya, dan Byasa. Namun Sanjaya dan Byasa tidak melihat secara langsung, melainkan melalui mata batin mereka yang menyaksikan perang Bharatayuddha.


Asal usul nama "Krishna"

            Dalam bahasa Sanskerta, kata Krishna berarti "hitam" atau "gelap", dan kata ini umum digunakan untuk menunjukkan pada orang yang berkulit gelap. Dalam Brahma Samhita dijabarkan bahwa Krishna memiliki warna kulit gelap bersemu biru langit. Dan umumnya divisualkan berkulit gelap atau biru pekat. Sebagai Contoh, di Kuil Jaganatha, di Puri, Orissa, India (nama Jaganatha, adalah nama yang ditujukan bagi Kresna sebagai penguasa jagat raya) di gambarkan memiliki kulit gelap berdampingan dengan saudaranya Baladewa dan Subadra yang berkulit cerah.


Kresna dalam pewayangan Jawa

            Dalam pewayangan Jawa, Prabu Kresna merupakan Raja Dwarawati, kerajaan para keturunan Yadu (Yadawa) dan merupakan titisan Dewa Wisnu. Kresna adalah anak Basudewa, Raja Mandura. Ia (dengan nama kecil "Narayana") dilahirkan sebagai putera kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya dikenal sebagai Baladewa (alias Kakrasana) dan adiknya dikenal sebagai Subadra, yang tak lain adalah istri dari Arjuna. Ia memiliki tiga orang istri dan tiga orang anak. Istri isterinya adalah Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Satyabama. Anak-anaknya adalah Raden Boma Narakasura, Raden Samba, dan Siti Sundari.

Pada perang Bharatayuddha, beliau adalah sais atau kusir Arjuna. Ia juga merupakan salah satu penasihat utama Pandawa. Sebelum perang melawan Karna, atau dalam babak yang dinamakan Karna Tanding sebagai sais Arjuna, beliau memberikan wejangan panjang lebar kepada Arjuna. Wejangan beliau dikenal sebagai Bhagawadgita.

Kresna dikenal sebagai seorang yang sangat sakti. Ia memiliki kemampuan untuk meramal, mengubah bentuk menjadi raksasa, dan memiliki bunga Wijaya Kusuma yang dapat menghidupkan kembali orang yang mati. Ia juga memiliki senjata yang dinamakan Cakrabaswara yang mampu digunakan untuk menghancurkan dunia, pusaka-pusaka sakti, antara lain Senjata Cakra, Kembang Wijayakusuma, terompet kerang (Sangkala) Pancajahnya, Kaca Paesan, Aji Pameling dan Aji Kawrastawan.

Setelah meninggalnya Prabu Baladewa (Resi Balarama), kakaknya, dan musnahnya seluruh Wangsa Wresni dan Yadawa, Prabu Kresna menginginkan moksa. Ia wafat dalam keadaan bertapa dengan perantara panah seorang pemburu bernama Jara yang mengenai kakinya.


Betari Durga

Tempat : Hutan Setra Gandamayit
Suami : Batara Kala
Bentuk : Raseksi yang ganas dan bengis

Keterangan:

            Batari Durga dahulu adalah seorang putri yang cantik jelita berujud bidadari bernama dewi Uma. Ia sangat dicintai oleh Hyang Guru. Peristiwa itu terjadi pada saat Hyang Guru sedang rekreasi naik lembu Nandini melihat keindahan jagad raya, karena asyiknya betara Guru timbullah nafsu asmara dengan dewi Uma. Tetapi dewi Uma tidak mau karena mengingat sedang naik Lembu Nandini. Karena Batara Guru sangat bernafsu maka kamanya jatuh di laut. Yang akhirnya lahir Batara Kala. Setelah kejadian itu Dewi Uma diajak pulang. Di kayangan Batara Guru marah bukan kepalang karena marahnya Betari Uma disabda menjadi reseksi yang bengis dan disuruh kehutan Setra Gandamayit.

Mari kita melihat kembali pada kejadian yang lalu, pada saat Batara Guru akan memaksa Batari Uma. Maka Batari Uma mengutuk sikap Batara Guru seperti itu bagaikan raksasa. Maka jadilah Batara Guru mirip raksasa dengan mempunyai caling. Atas kejadian itu Batara Guru merasa masgul hatinya. Batari Durga dapat kembali ujut seperti sedia kala setelah diruat oleh satria bungsunya Pandawa yaitu raden Sadewa. Maka lakon itu disebut lakon Sudamala atau Durga ruwat.

Batari Durga di Setra Gandamayit memerintah para jin, iblis, banaspati, gandaruwo, engklek-engklek balung antandak dan sepadannya.



Batara Yamadipati

Putra dari : Semar (Betara Ismaya)

Tempat : Kayangan Argodulamilah

Keterangan :

            Betara Yamadipati, dewa yang ditugasi mencabut nyawa dan menjaga neraka. Adapun wajah Yamadipati berbentuk manusia dan wajah raksasa yang mengerikan. Yamadipati juga terseret pada perbuatan tidak benar tetapi setelah direnungkan tidak baik, maka berbelok pada posisinya semula.


Batara Kala

Kayangan : kayangan Selamangumpeng

Ayah : Batara Guru

Istri : Batari Durga

Keterangan :

Batara Kala lahir dari Kama salah yang jatuh dilaut pada saat Batara Guru rekrasi dengan Batari Uma (lihat hal Batari Uma). Batara Kala dilahirkan dalam wujud api yang berkobar-kobar yang makin lama makin besar. Hal ini membuat gara-gara di Suralaya, sehingga para dewa diperintahkan oleh Batara Guru untuk mematikan api yang berkobar-kobar tetapi tidak mati, malah makin lama makin besar dan naik ke Suralaya menanyakan bapaknya.

Karena Hyang Guru kwatir kalau kayangan rusak maka Batara Guru mengakui kalau Kala adalah anaknya. Maka diberi nama Batara Kala dan Batara Kala minta makanan, maka Batara Guru memberi makanan tetapi ditentukan yaitu :

Orang yang mempunyai anak satu yang disebut ontang-anting

Pandawa lima anak lima laki-laki semua atau anak lima putri semua.

Kedono kedini, anak dua laki-laki perempuan jadi makanan Betara Kala.
Untuk menghindari jadi mangsa Batara Kala harus diadakan upacara ruwatan. Maka untuk lakon-lakon seperti itu di dalam pedalangan disebut lakon Murwakala atau lakon ruwatan. Di dalam lakon pedalangan Batara Kala selalu memakan para pandawa karena dianggapnya Pandawa adalah orang ontang anting. Tetapi karena Pandawa selalu didekati titisan Wisnu yaitu Batara Kresna. Maka Batara Kala selalu tidak berhasil memakan Pandawa.


Batara Antaboga

Kayangan : kayangan Saptapratala atau Saptabumi

Anak : Dewi Nagagini.

Keterangan :

Batara Antaboga adalah dewa ular maka disebut juga ujud naga besar. Hyang Antaboga mempunyai putri cantik jelita yang diperistri raden Werkudara. Peristiwa ini terjadi pada saat Pandawa ditipu Kurawa diajak berkumpul dan pesta. Tiba-tiba tempat tersebut dibakar oleh para Kurawa dalam pedalangan dalam lakon Balesigalagala. Pandawa tidak mati karena ditolong oleh garangan putih yaitu kajadian dari Hyang Antaboga. Akhirnya Pandawa selamat Werkudara dikawinkan dengan dewi Nagagini mempunyai keturunan raden Hanantareja.


Tentang Batara Bayu


Tempat tinggal : Kayangan Panglawung

Ayah : Batara Guru

Ibu : Dewi Uma

Istri : Dewi Sumi

Kesaktian :

Batara Bayu mempunyai kesaktian angin dan ia menjadi dewanya hewan, raksasa, dan manusia.

Yang tersebut golongan putera dewa Bayu adalah :

Batara Bayu

Hanuman

Wrekodara Wil Jajalpaweka

Liman setubanda

Sarpa Nagakuawara

Garudha Mahambira

Begawan Maenaka

Keterangan :

Batara Bayu pernah menjadi raja di Mayapada di negara Medanggora, bergelar prabu Bhima. Pada ceritera Pedalangan dalam lakon Bhima Bungkus di situ terlukis putera Pandu yang masih berada dalam keadaan terbungkus, sebelum sang bayi berwujud sebagai layaknya bayi biasa, Batara Bayu masuk kedalam bungkus sang bayi dan memberinya busana seorang kesatria.


Tentang Batara Brama

Tempat : Kayangan Deksina di dalam pedalangan sering disebut kayangan Argadahana.

Ayah : Batara Guru

Istri : Dewi Saraswati

Ibu : Batari Uma

Kesaktian : Dewa yang menguasai api.

Keterangan:

Batara Brama pernah memberikan pusaka Alugara dan Nanggala kepada raden Kakrasana pada saat ia bertapa di pertapaan Arsonya. Maka seolah-olah Hyang Brama adalah guru dari raden Kakrasana. maka kalau kita lihat bentuk wayang Prabu Baladewa, raden Kakrasana mirip dengan bentuk wayang Batara Brama. Batara Brama selalu atau sering mengikuti perjalanan Batara Guru ke Ngarcapada / Bumi menjelma menjadi raja seberang dengan nama misal prabu Dewa Pawaka atau yang lain.

Hal ini dapat digagalkan oleh Semar. Sehingga kehendaknya ingin memusnahkan Pandawa atau membuat onar dunia tidak berhasil. Juga dapat dilihat dalam lakon lahirnya Wisanggeni. Tujuan Batara Drama akan mengawinkan putrinya Dewi Dresanala dengan Dewa Srani serta menceraikan radaen Arjuna. Hal ini dapat digagalkan oleh Semar dan para Pandawa. Jadi kesimpulannya bahwa semua ulah dewa jika salah akan kalah oleh tindakan manusia yang benar.


Tentang Batara Indra


Tempat : Kayangan Jonggirisaloka

Kesaktian :

Batara Indra mempunyai kekuasaan memerintah para Dewa atas perintah Hyang Guru. Batara Indra mempunyai keahlian berperang dan banyak mempunyai panah sakti.

Anak :

Dewi Tara

Dewi Tari

Dewi Gagar Mayang

Batari Suprada dan masih banyak lagi yang berwujud bidadari.

Ayah : Batara Guru

Ibu : Batari Uma

Keterangan :

Batara Indra mempunyai kekuasaan atas para dewa dan para bidadari di sorga. Selain itu sering memberikan anugrah atau hadiah pada siapa saja yang gemar bertapa dan membantu ketentraman dunia serta permintaan titah yang sedang bertapa.

Sebagai contoh: Raden Arjuna mendapatkan panah Pasopati sebagai panah sakti akibat dari dia bertapa dan membantu atas ketentraman di kayangan, sehingga panah tersebut berguna di dalam perang besar Baratayuda


Tentang Batara Guru

Nama lain :
Hyang jagad Pratingkah
Sang Hyang catur buia
Sang Hyang Manikmaya

Tempat : Kayangan Jonggirikaelasa

Istri : Dewi Uma

Anak :
Batara Indra
Batara Bayu
Batara Wisnu
Batara Brama
Batara Kala
Batara Sakra
Batara Mahadewa
Batara Asmara
Ayah Batara Guru : Hyang Tunggal

Keterangan :

Batara Guru adalah dewa yang merajai kayangan serta mengusai alam. Batara Guru pada saat dilahirkan berwajah tampan serta tanpa cacat. Karena kecongkakannya dan merasa bangga karena mempunyai wajah tampan dia akhirnya menerima hukuman dari Hyang tunggal serta dewa yang Agung dengan bertangan empat, bercaling, leher berwarna biru. Hal ini adalah buah dari perbuatannya. Batara Guru didalam ceritera pedalangan sering mengganggu dunia dengan menyamar menjadi manusia ingin menghancurkan Kyai Semar, Pandawa tetapi hal ini selalu kalah dengan kebajikan dan kejujuran yang akhirnya Hyang Guru minta maaf dan kembali kekhayangan.


Gunungan Dalam Wayang





Kalau kita melihat pagelaran wayang kulit pasti akan melihat gunungan, dan lebih sering disebut juga kayon. Dinamakan gunungan karena bentuknya mirip sepucuk gunung yang mencuat tinggi keatas. Adapun kita melihat gunungan yaitu pada saat pakeliran belum dimulai, gunungan ditancapkan tegak lurus di tengah kelir pada batang pisang bagian atas. Tetapi jika pakeliran telah dimulai maka gunungan ditancapkan pada simpingan bagian kanan dan kiri.
Gunungan terdapat pada setiap pagelaran wayang, misalnya: wayang purwa, wayang gedog, wayang krucil, wayang golek, wayang suluh dan sebagainya. Tetapi gambar gunungan kalau kita lihat juga banyak dijadikan simbol, atau suatu lambang.
Contoh:
Dalam lingkungan hidup atau sering disebut Kalpataru, digambarkan lambang sebuah kayon.
Kalau kita membedakan jenis kayon atau gunungan itu ada dua macam yaitu:

1. Kayon Gapuran
2. Kayon Blumbangan

Adapun ciri-ciri kayon gapuran adalah sebagai berikut :
Bentuknya ramping
Lebih tinggi dari kayon blumbangan.
Bagian bawah berlukiskan gapura.
Samping kanan dan kiri dijaga dua raksasa kembar yaitu Cingkarabala dan balaupata.
Bagian belakang berlukiskan api merah membara.

Adapun ciri-ciri kayon blumbangan adalah sebagai berikut :
Bentuknya gemuk
Lebih pendek dari keyon gapuran
Bagian bawah berlukiskan kolam dengan air yang jernih.
Ditengah ada gambar ikan berhadap-hadapan ditengah kolam.
Bagian belakang berlukiskan api berkobar merah membara biasanya juga ada lukisan kepala makara.

Gunungan di dalam pegelaran wayang kulit mempunyai kegunaan yang penting sekali. Adapun guna kayon adalah sebagai berikut:
Tanda dimulainya pentas pedalangan dengan dicabutnya kayon lalu diletakkan pada simpingan kanan dan kiri.
Tanda pergantian adegan / tempat. Contoh: Setelah adegan Astina akan diganti adegan Amarta biasanya diawali dengan memindahkan kayon atau memutar kayon lalu ditancapkan pada posisi semula.
Untuk menggambarkan suasana. Contoh : Suasana sedih dalam suatu adegan, kayon digerak-gerakkan diikuti ceritera dalang.
Untuk menggambarkan sesuatu yang tidak ada wayangnya.Contoh:Suatu ajian yang dikeluarkan dari badan tokoh wayang. Dewa tertinggi yang tidak ada wayangnya. Misalnya Sang Hyang wenang dan sebagainya.
Menggambarkan air, api, dan angin. Contoh:Dari patet enem ke patet sanga di tandai dengan perubahan letak kayon. Misalnya dari kayon condong kekiri dirubah gerak tegak lurus.
Tanda berakhirnya pentas pakeliran yaitu dengan menancapkan kayon ditengah-tengah.

Gambar kayon didalamnya berlukiskan :
Rumah atau balai yang indah dengan lantai bertingkat tiga.
Dua raksasa kembar lengkap dengan perlengkapan jaga pedang dan tameng.
Dua naga kembar bersayap dengan dua ekornya habis pada ujung kayon.
Gambar hutan belantara yang suburnya dengan kayu yang besar penuh dengan satwanya.
Gambar macan berhadapan dengan banteng.
Pohon besar yang tinggi dibelit ular besar dengan kepala berpaling kekanan.
Dua kepala makara ditengah pohon.
Dua ekor kera dan lutung sedang bermain diatas pohon.
Dua ekor ayam hutan sedang bertengkar diatas pohon.

Jadi kesimpulannya gambar kayon gunungan didalamnya sudah melambangkan seluruh alam raya beserta isinya mulai dari manusia sampai dengan hewan serta hutan dan perlengkapannya.


Tentang Wayang Purwa

WAYANG PURWA




            Wayang purwa adalah bagian dari beberapa macam yang ada, diantaranya wayang gedog, wayang madya, wayang klitik purwa, wayang wahyu, wayang wahono dan sebagainya.
Wayang purwa sudah ada beberapa ratus tahun yang lalu dimana wayang timbul pertama fungsinya sebagai upacara menyembah roh nenek moyang. Jadi merupakan upacara khusus yang dilakukan nenek moyang untuk mengenang arwah para leluhur. Bentuk wayang masih sangat sederhana yang dipentingkan bukan bentuk wayang tetapi bayangan dari wayangan tersebut.
Perkembangan jaman dan budaya manusia selalu berkembang wayang ikut pula dipengaruhi bentuk
Wayangpun berubah, misalnya, bentuk mata wayang seperti bentuk mata manusia, tangan berkabung menjadi satu dengan badannya. Hal ini dipandang kurang enak maka tangan wayang dipisah, untuk selanjutnya diberi pewarna.
Perkembangan wayang pesat pada jaman para wali, diantaranya Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan yang lain ikut merubah bentuk wayang sehingga menjadi lebih indah bentuknya.
Langkah penyempurnaan di jaman Sultan Agung Hanyakrakusuma, jaman kerajaan Pajang, kerajaan Surakarta, jaman Pakubuwono banyak sekali menyempurnakan bentuk wayang sehingga tercipta bentuk sekarang ini, dimana telah mengalami kemantapan yang dirasa pas dihati pemiliknya.


Wayang - Teknik Pakem Pakeliran

            Pakem tehnik perkeliran atau wewaton tehnik perkeliran itu setiap daerah atau setiap gaya tentu ada dan sudah barang tentu tidak dapat diabaikan sama sekali. Hal itu erat sekali hubungannya dengan perasaan indah yang hidup di masing-masing daerah. Misalnya perkeliran gaya sala berbeda dengan gaya yogya. Berbeda pula dengan gaya banyumas, tegal, jawa timur, dll. Mungkin hal ini pula sangkut-pautnya dengan falsafah hidup dalam masyarakat itu sendiri-sendiri.

Maka dari itu uraian tentang pakem atau wewaton tehnik perkeliran, pada kesempatan ini kami batasi dengan hanya mengemukakan wewaton tehnik perkeliran menurut seni pedalangan gaya Yogyakarta.

Pergelaran seni pedalangan gaya Yogyakarta yang diperkelirkan semalam suntuk itu, pada dasarnya terbagi dalam 3 bagian yang besar, ialah
Permulaan pergelaran dengan “pathet lasem” yang sering juga disebut “pathet nem”.
Lalu disusul dengan “pathet sanga” ; dan
Kemudian dengan “pathet manura” , yang pada akhir pathet mayura ini disebut “galong” (pada waktu fajar menyingsing).



Label: lakon, wayang

Lakon - lakon Pewayangan

            Lakon-lakon pewayangan yang begitu banyak dipergelarkan dewasa ini, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 bagian, ialah: 1. Lakon wayang yang disebut pakem; 2. Lakon wayang yang disebut carangan; 3. Lakon wayang yang disebut gubahan; 4. Lakon wayang yang disebut karangan.

Perinciannya sebagai berikut :
Lakon pakem : yang disebut lakon-lakon pakem itu sebagian besar ceriteranya mengambil dari sumber-sumber ceritera dari perpustakaan wayang, misalnya : lakon Bale Sigala-gala, pandawa dadu, baratayuda, rama gandrung, subali lena, anoman duta, brubuh ngalengka dll.
Lakon carangan : yang disebut carangan itu hanya garis pokoknya saja yang bersumber pada perpustakaan wayang, diberi tambahan atau bumbu-bumbu berupa carangan (carang Jw = dahan), seperti lakon-lakon : babad alas mertani, partakrama, aji narantaka, abimanyu lahir dll.
Lakon gubahan : yang disebut gubahan itu ialah lakon yang tidak bersumber pada buku-buku ceritera wayang, tetapi hanya menggunakan nama dan negara-negara dari tokoh-tokoh yang termuat dalam buku-buku ceritera wayang, misalnya lakon-lakon: irawan Bagna, gambiranom, dewa amral, dewa katong dsb.
Lakon karangan : yang disebut lakon karangan itu ialah suatu lakon yang sama sekali lepas dari ceritera wayang yang terdapat dalam buku-buku sumber ceritera wayang, misalnya lakon-lakon : praja binangun, linggarjati, dsb. Dalam lakon praja binangun tersebut diketengahkan nama tokoh-tokoh wayang seperti : ratadahana (Jendral Spoor), Kala Miyara (Meiyer), Dewi Saptawulan (Juliana), Bumiandap (Nederland) dsb.



Perlu pula diketahui bahwa lakon-lakon wayang yang disebut carangan, gubahan dan karangan itu, banyak juga lakon yang merupakan kiasan, misalnya : Lakon babad alas mertani mengandung kias assimilasi (perkawinan) falsafah Hindu dan Jawa. Demikian pula lakon-lakon seperti : pandawa Pitu, Pandawa Sanga, senggana racut dsb itu berisi kias dan maksud mengenai ilmu kebatinan (baca: kejawen).


Filosofi Wayang - Pengantar





            Pindahnya Keraton Kasunanan dari Kartasura ke Desa Solo (sekarang Surakarta) membawa perkembangan juga dalam seni pewayangan. Seni pewayangan yang merupakan seni pakeliran dengan tokoh utamanya Ki Dalang adalah suatu bentuk seni gabungan antara unsur seni tatah sungging (seni rupa) dengan menampilkan tokoh wayangnya yang diiringi dengan gending/irama gamelan, diwarnai dialog (antawacana), menyajikan lakon dan pitutur/petunjuk hidup manusia dalam falsafah.
Seni pewayangan dapat digelar dalam bentuk Wayang Kulit Purwa, dilatar-belakangi layar/kelir dengan pokok cerita yang sumbernya dari Mahabharata dan Ramayana, berasal dari India. Namun ada juga pagelaran wayang kulit purwa dengan lakon cerita yang di petik dari ajaran Budha, seperti cerita yang berkaitan dengan upacara ruwatan (pensucian diri manusia). Pagelaran wayang kulit purwa biasanya memakan waktu semalam suntuk.
Semasa Sri Susuhunan X di Solo didirikan tempat pementasan Wayang Orang, yaitu di Sriwedari yang merupakan bentuk pewayangan panggung dengan pemainnya terdiri dari orang-orang yang memerankan tokoh-tokoh wayang. Baik cerita maupun dialognya dilakukan oleh masing-masing pemain itu sendiri. Pagelaran ini diselenggarakan rutin setiap malam. Bentuk variasi wayang lainnya yaitu wayang Golek yang wayangnya terdiri dari boneka kayu.
Seniman cina yang berada di Solo juga kadang menggelar wayang golek cina yang disebut Wayang Potehi. Dengan cerita dari negeri Cina serta iringan musiknya khas cina.
Ada juga Wayang Beber yang dalam bentuknya merupakan lembaran kain yang dilukis dan diceritakan oleh sang Dalang, yang ceritanya berkisar mengenai Keraton Kediri, Ngurawan, Singasari (lakon Panji).
Wayang Klitik adalah jenis pewayangan yang media tokohnya terbuat dari kayu, ceritanya diambil dari babat Majapahit akhir (cerita Dhamarwulan).
Dulu terkadang "wong Solo" memanfaatkan waktu senggangnya membuat wayang dari rumput, disebut Wayang Rumput
Orang jawa mempunyai jenis kesenian tradisional yang bisa hidup dan berkembang hingga kini dan mampu menyentuh hati sanubari dan menggetarkan jiwa, yaitu seni pewayangan. Selain sebagai alat komunikasi yang ampuh serta sarana memahami kehidupan, wayang bagi orang jawa merupakan simbolisme pandangan-pandangan hidup orang jawa mengenai hal-hal kehidupan.
Dalam wayang seolah-olah orang jawa tidak hanya berhadapan dengan teori-teori umum tentang manusia, melainkan model-model hidup dan kelakuan manusia digambarkan secara konkrit. Pada hakekatnya seni pewayangan mengandung konsepsi yang dapat dipakai sebagai pedoman sikap dan perbuatan dari kelompok sosial tetentu.
Konsepsi-konsepsi tersebut tersusun menjadi nilai nilai budaya yang tersirat dan tergambar dalam alur cerita-ceritanya, baik dalam sikap pandangan terhadap hakekat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungannya serta hubungan manusia jawa dengan manusia lain.
Pertunjukkan wayang terutama wayang kulit sering dikaitkan dengan upacara adat: perkawinan, selamatan kelahiran bayi, pindahan rumah, sunatan, dll, dan biasanya disajikan dalam cerita-cerita yang memaknai hajatan dimaksud, misalnya dalam hajatan perkawinan cerita yang diambil "Parto Krama" (perkawinan Arjuna), hajatan kelahiran ditampilkan cerita Abimanyu lahir, pembersihan desa mengambil cerita "Murwa Kala/Ruwatan"


Makna Gambar Semar dalam Pewayangan



Gambar Wayang Semar kiranya merupakan simbol pengertian atau konsepsi dari aspek sifat Ilahi, yang kalau dibaca bunyinya :

Yang wayang itu hanyalah kulit
Yang kulit itu bukan Hakekat
Samasekali bukan , Ia
Hanyalah lambang dan sifat-sifat
Nama-nama dan aspeknya
Yang dalam lambang itu Maya
Dalam Maya ada Ia
Ia adalah yang Maha Wisesa, Wenang wening
Ia tak tampak tapi ada
Ada ini sebagai ada yang pertama
Dan tidak pernah tidak ada
Adanya adalah tunggal
Adanya adalah Mutlak
Ia satu-satunya kenyataan
Ada adalah tak tampak mata
Gaib, misterius, samar
Karena yang ada mutlak itu Tunggal
Yang Tunggal adalah kebenaran
Kebenaran mutlak karena tak ada kebenaran yang mendua
Tan Hana Dharma Mngrwa
Jadi Sang Hyang Tunggal adalah Kebenaran
Sang Hyang Tunggal adalah Samarnya SEMAR
Samar adalah aspek sifat dan Nama
Samar ada pada SEMAR


Daftar Raja-raja Jawa

Mataram Kuno


Dinasti Syailendra
Bhanu (752-775)
Wisnu (775-782)
Indra (782-812)
Samaratungga (812-833)
Pramodhawardhani (833-856), menikah dengan Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya)


Dinasti Sanjaya
Sanjaya (732-7xx)
Rakai Panangkaran
Rakai Panunggalan
Rakai Warak
Rakai Garung
Rakai Patapan (8xx-838)
Rakai Pikatan (838-855), mendepak Dinasti Syailendra
Rakai Kayuwangi (855-885)
Dyah Tagwas (885)
Rakai Panumwangan Dyah Dewendra (885-887)
Rakai Gurunwangi Dyah Badra (887)
Rakai Watuhumalang (894-898)
Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910)
Daksa (910-919)
Tulodong (919-921)
Dyah Wawa (924-928)
Mpu Sindok (928-929), memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur (Medang)
Sanjaya Gusti


Medang
Mpu Sindok (929-947)
Sri Isyanatunggawijaya (947-9xx)
Makutawangsawardhana (9xx-985)
Dharmawangsa Teguh (985-1006)


Kahuripan
Airlangga (1019-1045), mendirikan kerajaan di reruntuhan Medang
(Airlangga kemudian memecah Kerajaan Kahuripan menjadi dua: Janggala dan Kadiri)

Janggala
(tidak diketahui silsilah raja-raja Janggala hingga tahun 1116)

Kadiri
(tidak diketahui silsilah raja-raja Kadiri hingga tahun 1116)
Kameswara (1116-1135), mempersatukan kembali Kadiri dan Panjalu
Jayabaya (1135-1159)
Rakai Sirikan (1159-1169)
Sri Aryeswara (1169-1171)
Sri Candra (1171-1182)
Kertajaya (1182-1222)

Singhasari
Tunggul Ametung (1222)tewas dibunuh Ken Arok.
Ken Arok (1222-1227)
Anusapati (1227-1248)
Tohjaya (1248)
Ranggawuni (Wisnuwardhana) (1248-1254)
Kertanagara ( 1254-1292)


Majapahit
Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana) (1293-1309)
Jayanagara (1309-1328)
Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350)
Hayam Wuruk (Rajasanagara) (1350-1389)
Wikramawardhana (1390-1428)
Suhita (1429-1447)
Dyah Kertawijaya (1447-1451)
Rajasawardhana (1451-1453)
Girishawardhana (1456-1466)
Singhawikramawardhana (Suraprabhawa) (1466-1474)
Girindrawardhana Dyah Wijayakarana(1468-1478)
Singawardhana Dyah Wijayakusuma (menurut Pararaton menjadi Raja Majapahit selama 4 bulan sebelum wafat secara mendadak ) ( ? - 1486 )
Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhre Kertabumi (diduga kuat sebagai Brawijaya, menurut Kitab Pararaton dan Suma Oriental karangan Tome Pires pada tahun 1513) (1474-1519)


Demak
Raden Patah (1478 - 1518)
Pati Unus (1518 - 1521)
Sultan Trenggono (1521 - 1546)
Sunan Prawoto (1546 - 1561)

Kesultanan Pajang
Jaka Tingkir, bergelar Sultan Hadiwijoyo (1549 - 1582)
Arya Pangiri, bergelar Sultan Ngawantipuro (1583 - 1586)
Pangeran Benawa, bergelar Sultan Prabuwijoyo (1586 - 1587)


Mataram Baru

            Daftar ini merupakan Daftar penguasa Mataram Baru atau juga disebut sebagai Mataram Islam, meski penamaan terakhir ini kurang pas. Catatan: sebagian nama penguasa di bawah ini dieja menurut ejaan bahasa Jawa.
Ki Ageng Pamanahan, menerima tanah perdikan Mataram dari Jaka Tingkir
Panembahan Senopati (Raden Sutawijaya) (1587 - 1601), menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka.
Panembahan Hanyakrawati (Raden Mas Jolang) (1601 - 1613)
Adipati Martapura (1613 selama satu hari)
Sultan Agung (Raden Mas Rangsang / Prabu Hanyakrakusuma) (1613 - 1645)
Amangkurat I (Sinuhun Tegal Arum) (1645 - 1677)


Kasunanan Kartasura
Amangkurat II (1680 – 1702), pendiri Kartasura.
Amangkurat III (1702 – 1705), dibuang VOC ke Srilangka.
Pakubuwana I (1705 – 1719), pernah memerangi dua raja sebelumya; juga dikenal dengan nama Pangeran Puger.
Amangkurat IV (1719 – 1726), leluhur raja-raja Surakarta dan Yogyakarta.
Pakubuwana II (1726 – 1742), menyingkir ke Ponorogo karena Kartasura diserbu pemberontakl; mendirikan Surakarta.


Kasunanan Surakarta
Pakubuwana I/Pangeran Puger (1704 - 1719), memerintah Kasunanan Kartasura
Pakubuwana II (1745 - 1749), pendiri kota Surakarta; memindahkan keraton Kartasura ke Surakarta pada tahun 1745
Pakubuwana III (1749 - 1788), mengakui kedaulatan Hamengkubuwana I sebagai penguasa setengah wilayah kerajaannya.
Pakubuwana IV (1788 - 1820)
Pakubuwana V (1820 - 1823)
Pakubuwana VI (1823 - 1830), diangkat sebagai pahlawan nasional Indonesia; juga dikenal dengan nama Pangeran Bangun Tapa.
Pakubuwana VII (1830 - 1858)
Pakubuwana VIII (1859 - 1861)
Pakubuwana IX (1861 - 1893)
Pakubuwana X (1893 - 1939)
Pakubuwana XI (1939 - 1944)
Pakubuwana XII (1944 - 2004)
Dua orang Pakubuwana XIII (2004 - sekarang), terjadi perebutan takhta antara Pangeran Hangabehi dan Pangeran Tejowulan.


Kasultanan Yogyakarta
Hamengkubuwana I (1755 - 1792)
Hamengkubuwana II (1793 - 1828)
Hamengkubuwana III (1810 - 1814)
Hamengkubuwana IV (1814 - 1822)
Hamengkubuwana V (1822 - 1855)
Hamengkubuwana VI (1855 - 1877)
Hamengkubuwana VII (1877 - 1921)
Hamengkubuwana VIII (1921 - 1939)
Hamengkubuwana IX (1939 - 1988)
Hamengkubuwana X (1988 – sekarang)



Keblat Papat Limo Pancer

            Sejak dahulu orang Jawa telah mempunyai “ perhitungan “ ( petung Jawa ) tentang pasaran, hari, bulan dan lain sebagainya. Perhitungan itu meliputi baik buruknya pasaran, hari, bulan dan lain sebagainya. Khusus tentang hari dan pasaran terdapat di dalam mitologi sebagai berikut :

1.      Batara Surya ( Dewa Matahari ) turun ke bumi menjelma menjadi Brahmana Raddhi di gunung tasik. Ia menggubah hitungan yang disebut Pancawara ( lima bilangan ) yang sekarang disebut Pasaran yakni : Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon nama kunonya : Manis, Pethak ( an ) Abrit ( an ) Jene ( an ) Cemeng ( an ), kasih. ( Ranggowarsito R.NG.I : 228 )

2.      Kemudian Brahmana Raddhi diboyong dijadikan penasehat Prabu Selacala di Gilingwesi sang Brahmana membuat sesaji, yakni sajian untuk dewa-dewa selama 7 hari berturut-turut dan tiap kali habis sesaji, hari itu diberinya nama sebagai berikut
Sesaji Emas, yang dipuja Matahari. Hari itu diberinya nama Radite, nama sekarang : Ahad.
Sesaji Perak, yang dipuja bulan. Hari itu diberinya nama : Soma, nama sekarang : Senen.
Sesaji Gangsa ( bahan membuat gamelan, perunggu ) yang dipuja api, hari itu diberinya nama : Anggara, nama sekarang Selasa.
Sesaji Besi, yang dipuja bumi, hari itu diberinya nama : buda, nama sekarang : Rebo.
Sesaji Perunggu, yang dipuja petir. Hari itu diberinya nama : Respati, nama sekarang : Kemis.
Sesaji Tembaga, yang dipuja Air. Hari itu diberinya nama : Sukra, nama sekarang : Jumat
Sesaji Timah, yang dipuja Angin. Hari itu diberinya nama : Saniscara disebut pula : Tumpak, nama sekarang : Sabtu.

Nama sekarang hari-hari tersebut adalah nama hari-hari dalam Kalender Sultan Agung, yang berasal dari kata-kata Arab ( Akhad, Isnain, Tslasa, Arba’a, Khamis, Jum’at, Sabt ) nama-nama sekarang itu dipakai sejak pergantian Kalender Jawa – Asli yang disebut Saka menjadi kalender Jawa / Sultan Agung yang nama ilmiahnya Anno  Javanico ( AJ ). Pergantian kalender itu mulai 1 sura tahun Alip 1555 yang jatuh pada 1 Muharam 1042 = Kalender masehi 8 Juli 1633. Itu hasil perpaduan agama Islam dan kebudayaan Jawa.

Angka tahun AJ itu meneruskan angka tahun saka yang waktu itu sampai tahun 1554, sejak itu tahun saka tidak dipakai lagi di Jawa, tetapi hingga kini masih digunakan di Bali. Rangkaian kalender saka seperti : Nawawara ( hitungan 9 atau pedewaan ) Paringkelan ( kelemahan makhluk ) Wuku ( 30 macam a’7 hati, satu siklus 210 hari ) dll.

Dipadukan dengan kalender Sultan Agung ( AJ ) tersebut, keseluruhan merupakan petungan ( perhitungan ) Jawa yang dicatat dalam Primbon. Dikalangan suku Jawa, sekalipun di lingkungan kaum terpelajar, tidak sedikit yang hingga kini masih menggunakannya ( baca : mempercayai ) primbon.


 Sunan Kalijaga Gurunya Orang Jawa


            Sunan Kalijaga yang hidup di jaman Kerajaan Islam Demak (sekitar abad 15) aslinya bernama Raden Said, adalah putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta/Raden Sahur. Raden Sahur adalah keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu. Sunan Kalijaga diperkenalkan agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban sejak kecil.

Melihat lingkungan sekitar yang kontradiktif dengan kehidupan rakyat jelata yang serba kekurangan, menyebabkan ia bertanya kepada Ayahnya mengenai hal tersebut, yang dijawab bahwa itu adalah untuk kepentingan kerajaan Majapahit yang membutuhkan dana banyak untuk menghadapi pemberontakan. Maka secara diam-diam ia bergaul dengan rakyat jelata, menjadi pencuri untuk mengambil sebagian barang-barang di gudang dan membagikan kepada rakyat yang membutuhkan.

Namun akhirnya ia ketahuan dan dihukum cambuk 200 (dua ratus) kali ditangannya dan disekap beberapa hari oleh Ayahnya, yang kemudian ia pergi tanpa pamit. Mencuri atau merampok dengan topeng ia lakukan, demi rakyat jelata. Tapi ia tertangkap lagi, yang menyebabkan ia diusir oleh Ayahnya dari Kadipaten. Iapun tinggal di hutan Jatiwangi dan menjadi perampok orang kaya, dan berjuluk Brandal Lokajaya. Suatu waktu ia berjumpa dengan Sunan Bonang, dan dibawa ke Tuban untuk menjadi muridnya, memperdalam agama Islam. Lalu akhirnya ia menjadi pengembara yang menyebarkan agama Islam (sebelumnya sempat menemui kedua orang tuanya), yang dihari tuanya ia tinggal dan meninggal di desa Kadilangu Demak.

Ia dikenal sebagai Mubaligh/Da’i keliling, ulama besar, seorang Wali yang memiliki karisma tersendiri di antara wali-wali yang lain, paling terkenal di berbagai lapisan masyarakat apalagi kalangan bawah. Ia disebagian tempat juga dikenal bernama Syekh Malaya. Ia dapat dikatakan sebagai ahli budaya, misalnya: pengenalan agama secara luwes tanpa menghilangkan adat-istiadat/kesenian daerah (adat lama yang ia beri warna Islami), menciptakan baju Taqwa (lalu disempurnakan oleh Sultan Agung dengan destar nyamping dan keris serta rangkaian lainnya), menciptakan tembang Dandanggula dan Dandanggula Semarangan, menciptakan lagu Lir Ilir yang sampai saat ini masih akrab dikalangan sebagian besar orang Jawa, pencipta seni ukir bermotif daun-daunan, memerintahkan sang murid bernama Sunan Bayat untuk membuat bedug di Masjid guna mengerjakan sholat jama’ah.

Acara ritual berupa Gerebeg Maulud yang asalnya dari tabligh/pengajian akbar yang diselenggarakan para Wali di Masjid Demak untuk memperingati maulud nabi, menciptakan Gong Sekaten bernama asli Gong Syahadatain (dua kalimah syahadat) yang jika dipukul akan berbunyi dan bermakana bahwa mumpung masih hidup agar berkumpul masuk agama Islam, pencipta Wayang Kulit diatas kulit kambing, sebagai Dalang (dari kata dalla’ yang berarti menunjukkan jalan yang benar) wayang kulit dengan beberapa cerita yang ia senangi yaitu antara lain Jimat Kalimasada dan Dewa Ruci serta Petruk Jadi Raja dan Wahyu Widayat, serta sebagai ahli tata kota seperti misalnya pengaturan Istana atau Kabupaten dengan Alun-alun serta pohon beringin dan masjid.

Sebagai penutup, kami tuliskan teks tembang Lir Ilir, sebagai berikut :

“Lir ilir lir ilir tandure wis sumilir, Tak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar, Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi, Lunyu-lunyu penekno kanggo masuh dodotiro-dodotiro, Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir, Domono jlumotono kanggo seba mengko sore, Mumpung jembar kalangane mumpung padhang rembulane, Yo surako surak horee.”

Suka atau tidak suka, pada kenyataannya Sunan Kalijaga dapat dikatakan sebagai gurunya atau dewanya Islam bagi besar orang sebagian Jawa. Bahkan Panembahan Senopati, sebelum membangun Mataram selepas jaman Pajang (Sultan Hadiwijoyo) sempat diwejang dahulu oleh Sunan Kalijaga di tepi laut di muara Kali Opak, selepas bertapa dan bertemu dengan Nyi Roro Kidul.


Budaya Kebatinan Orang Jawa

            Menurut pandangan ilmu mistik kebatinan orang jawa, kehidupan manusia merupakan bagian dari alam semesta secara keseluruhan, dan hanya merupakan bagian yang sangat kecil dari kehidupan alam semesta yang abadi, dimana manusia itu seakan-akan hanya berhenti sebentar untuk minum (urip iku mung mampir ngombe).

Sikap. Gaya hidup, dan banyak aktivitas sebagai latihan upacara yang harus diterima dan dilakukan oleh seorang, yang ingin menganut mistik dibawah pimpinan guru dan panuntun agama itu, pada dasarnya sama pada berbagai gerakan kebatinan jawa yang ada. Hal yang mutlak perlu adalah kemampuan untuk melepaskan diri dari dunia kebendaan, yaitu memiliki sifat rila (rela) untuk melepaskan segala hak milik, pikiran atau perasaan untuk memiliki, serta keinginan untuk memiliki.. melalui sikap rohaniah ini orang dapat membebaskan diri dari berbagai kekuatan serta pengaruh dunia kebendaan di sekitarnya.

Sikap menyerah serta mutlak ini tidak boleh dianggap sebagai tanda sifat lemahnya seseorang; sebaliknya ia menandakan bahwa orang seperti itu memiliki kekuatan batin dan keteguhan iman. Kemampuan untuk membebaskan diri dari dunia kebendaan dan kehidupan duniawi juga melibatkan sikap narima yaitu sikap menerima nasib, dan sikap bersabar, yang berarti sikap menerima nasip dengan rela. Kemampuan untuk memiliki sikap-sikap semacam itu dapat diperoleh dengan hidup sederhana dalam arti yang sesungguhnya, hidup bersih, tetapi juga dengan jalan melakukan berbagai kegiatan upacara kegiatan upacara yang meningkatkan kemampuan berkonsentrasi dengan jalan mengendalikan diri, dan melakukan berbagai latihan samadi. Melalui latihan bersemedi di harapkan agar orang dapat membebaskan dirinya dari keadaan sekitarnya, yaitu menghentikan segala fungsi tubuh dan keinginan serta nafsu jasmaninya. Hal ini dapat memberikan keheningan pikiran dan membuatnya mengerti dan menghayati hakekat hidup serta keselarasan antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah. Apabila orang sudah bebas dari beban kehidupan duniawi (pamudharan), maka orang itu setelah melalui beberapa tahap berikutnya, pada suatu saat akan dapat bersatu dengan Tuhan (jumbuhing kawula Gusti, atau Manunggaling kawula-Gusti)/Pendekatan kepada Illahi.

Namun dengan tercapainya pamudharan, yang memungkinkan orang untuk melepaskan diri dari kehidupan dunia kebendaan, orang itu juga tidak terbebas dari kewajiban-kewajibannya dalam kehidupan yang konkret; bahkan, orang yang sudah mencapai pamudharan, wajib amemayu ayuning bawana, atau berupaya memperindah dunia, yaitu berusaha memelihara dan memperindah dengan jalan melakukan hal-hal yang baik, dan hidup dengan penuh tanggung jawab.


Gerakan Untuk Purifikasi Jiwa

            Semua organisasi kebatinan yang besar, kecuali SUBUD, memang bersifat mistik; banyak gerakan kebatinan, terutama yang jumlah anggotanya sedikit, hanya berusaha untuk mencapai purifikasi jiwa, tanpa mempunyai tujuan untuk bersatu dengan Tuhan. Hal yang mereka inginkan hanyalah memperoleh suatu kehidupan kerohanian yang mantap, tanpa rasa takut dan rasa ketidak-pastian. Inilah yang oleh orang jawa disebut orang yang sudah “bebas” (kamanungsan, kasunyatan). Cara untuk kamanungsan pada umumnya sama dengan cara untuk mencapai pamudharan tersebut diatas. Kecuali beberapa variasi kecil, maka cara untuk mencapai purifikasi jiwa pada dasarnya adalah dengan menjalankan kehidupan yang penuh tanggung jawab, baik secara moral, sederhana, mampu membebaskan diri dari keduniawian, mempunyai sikap yang baik terhadap kehidupan, nasib dan kematian dan melakukan samadi secara ketat. Oleh karena gerakan-gerakan kebatinan ini berusaha mencari kebebasan rohaniah individu, maka orang mudah mengerti bahwa sifatnya agak individualis; gerakan-gerakan seperti itu paling tidak menarik bagi orang-orang yang membutuhkan kehidupan keagamaan, tanpa harus menaati peraturan-peraturan keagamaan yang resmi secara ketat, namun menyesuaikan dengan adat istiadat (Said 1972-a: 153-154)


Kebatinan Yang Berdasarkan Ilmu Gaib

            Diseluruh daerah tempat tinggal orang jawa banyak terdapat gerakan-gerakan kebatinan yang hanya beranggotakan beberapa puluh orang saja. Kebanyakan dari gerakan seperti itu berpusat di kota-kota dan pada umumnya bersifat rahasia, yaitu dengan tujuan-tujuan yang bersifat mistik, moralis, atau etis dan dipimpin oleh seorang guru. Untuk mencapai tujuannya, para anggota gerakan seperti itu banyak melakukan praktek-praktek ilmu gaib, disamping studi dan bersamadi.

Banyak dari budaya semacam itu pada awalnya adalah suatu organisasi yang mengajar seni bela diri pencak. Kecuali memberi latihan fisik, gurunya juga melatih murid-muridnya untuk melakukan meditasi. Untuk menciptakan suasana keramat, ada juga yang ditabah berbagai ritus ilmu gaib secara rahasia yang dimaksudkan agar para muridnya, memperoleh kekebalan dan kesaktian tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar